CIREBON. Petani bawang di seputaran Cirebon kecewa. Penyebabnya tak lain dan tak bukan karena anjloknya harga bawang yang merupakan komoditas andalan petani Kabupaten Cirebon.
Rogayah, petani bawang asal Pangenan misalnya, menuturkan bahwa harga bawang saat ini menyentuh level terendah, yakni Rp 3.000 per kilogram.
“Saya pikir harga bawang bakal naik menjelang Ramadhan. Tetapi malah semakin turun. Bulan Mei lalu Rp 5.000 per kilogram, sekarang turun lagi menjadi Rp 3.000 per kilogram. Sedih sekali rasanya mengingat saat membeli bibit bawang harganya Rp 20.000 per kilogram. Para pedagang beralasan bahwa sekarang stok bawang banyak sehingga harga bawang murah,” tutur Rogayah (31/07).
“Bawang menjadi bumbu wajib yang harus dibeli untuk bahan masakan. Anehnya mengapa bawang turun dan harganya rendah sekali, walaupun terkadang harganya naik,” tambahnya.
Mae Azhar, Ketua Badan Pelaksana Cabang (BPC) Serikat Petani Indonesia (SPI) Kabupaten Cirebon mengungkapkan bahwa turunnya harga bawang menjelang Ramadhan berbarengan dengan panen raya di sentra bawang. Selain itu dia berpendapat bahwa membanjirnya bawang impor adalah salah satu penyebab anjloknya harga bawang lokal.
“Izin masuknya adalah impor bawang merah untuk bibit. Tetapi kenyatannya untuk dikonsumsi juga. Ini permainan kotor pedagang besar sehingga harga bawang lokal amblas,” katanya.
Azhar juga menjelaskan bahwa bawang impor dibawa dengan menggunakan puluhan kontainer yang disimpan sekitar daerah Losari, Kab. Cirebon dan di Jalan Pantura Kelempok, Kab. Brebes, Jateng. Dari dua gudang inilah bawang merah yang ukurannya lebih besar dan sangat berbeda dengan bawang lokal ini didistribusikan oleh truk kecil ke pasar-pasar.
Februari lalu, harga bawang di pasar tradisional mencapai Rp 19.000 per kilogram yang merupakan nilai cukup tinggi dan menguntungkan petani. Namun pada saat yang bersamaan ribuan ton bawang impor Filipina masuk dari Pelabuhan Tanjung Priok yang diangkut dengan kontainer menuju Losari dan Brebes.
“Bawang Filipina dari segi penampilan dan jumlah lebih unggul. Sedangkan bawang merah lokal penampilannya tidak terlalu besar. Akibatnya harga bawang lokal tertekan,” jelasnya.
Azhar menambahkan bahwa petani sekarang rugi dua kali lipat karena saat musim tanam awal mereka membeli bawang seharga lebih kurang Rp 28.000 per kilogram. Walau terjadi peningkatan hasil panen tetap tidak mengejar biaya produksi yang membengkak.
“Februari tinggi sekali harganya sampai Rp 19.000. Bahkan harga bibit Rp 25.000/kg. Ketika panen seperti sekarang harga jual bawang hanya Rp 3.000 per kilogram,” ujarnya.
Sementara itu, menurut Achmad Ya’kub, Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional SPI mengungkapkan bahwa pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian seharusnya punya mekanisme tata niaga soal bawang.
“Jadi sederhana saja, ketika suplai banyak jangan dirusak harganya dengan masuknya bawang impor. Ini bukan jual beli biasa, tapi sudah masuk unsur-unsur spekulasi perdagangan yang korban pertamanya adalah petani karena anjloknya harga dan kemudian konsumen karena tidak ada kepastian harga,” tuturnya.
Ya’kub juga menambahkan bahwa pemerintah melalui Kementerian Perindustrian dan Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi (BPPT) mendorong teknologi pengolahan bawang pasca panen, sehingga terbangun industri di pedesaan dan tidak hanya menjual bawang merah mentah sehingga ada nilai tambah yang dinikmati oleh masyarakat desa.