JAKARTA. Tahun ini, tanggal 24 September kita akan merayakan 51 tahun lahirnya Undang-undang Pokok Agraria No.5/1960, yang diperingati sebagai Hari Tani Nasional. Penetapan Hari Tani ini untuk terus mengingatkan kita bahwa petani adalah salah satu soko guru bangsa ini yang kerap dilupakan. Semangat dari UUPA No. 5/1960 ini bertujuan membongkar ketidakdilan struktur agraria dan membawa kemakmuran bagi rakyat Indonesia yang sebagian besar bergantung pada sektor pertanian. Semangat yang masih relevan hingga hari ini. Begitu besarnya perlindungan terhadap petani dalam undang-undang ini dengan menegaskan bahwa tanah-tanah pertanian ditujukan dan diutamakan bagi mereka yang menggarapnya.
Untuk itulah Serikat Petani Indonesia (SPI) sebagai organisasi massa perjuangan petani di Indonesia akan menggelar beberapa rangkaian acara untuk memperingati Hari Tani Nasional ini. Adapaun rangkaiannya adalah sebagai berikut:
- Aksi demontrasi ke Kementrian Negara BUMN di Jakarta tanggal 14 September 2011 terkait penyelesaian konflik agraria petani dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN ) dan Perusahan Hutan Negara Indonesia (Perhutani)
- Dialog dengan Redaksi Media massa, Radio dan Televisi pada tanggal 19-26 September di Jakarta
- Halal bil Halal 1 Syawal dan diskusi agraria di Sekretariat DPP SPI Jakarta pada tanggal 20 September 2011 dalam rangka menyambut Hari Tani Nasional
- Terlibat dalam Diskusi Publik terkait RUU Pengadaan tanah untuk Pembangunan oleh Panitia Bersama Hari Tani Nasional di Gedung Joeang 1945 Jakarta pada tanggal 21 September 2011
- Aksi Demontrasi pada puncak perayaan Hari Tani Nasional di Istana Presiden Jakarta pada tanggal 24 September 2011
- Aksi demonstrasi petani di seluruh wilayah anggota SPI di Aceh, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Riau, Sumatra Seatan, Jambi, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, pada tanggal 24 September 2011
- Aksi Demontrasi petani di Istana Presiden Jakarta dengan Panitia Bersama Peringatan Hari Tani Nasional pada tanggal 26 september 2011
- Aksi Demonstrasi petani Jawa Tengah tanggal 26 September 2011 di Kantor DPRD Jawa Tengah
- Berbagai kegiatan menyemarakan Peringatan Hari Tani Nasional yang diselenggarakan anggota SPI di berbagai wilayah Indonesia
BANTEN PERTANIAN YANG MORAT MARIT
Oleh : M. Ibnu Zakaria
Ketua Lembaga Gerbang Banten
sebuah potret pertanian yang termarjinalkan.
(Diskusi : Gerakan Tani Marjinal Banten)
Pembangunan perekonomian di Provinsi Banten tidak terlepas dari potensi sektor pertanian, sehingga pemberdayaan pertanian tidak hanya menjadi issu dan wacana saja. Bahwa memang sasaran pembagunan perekonomian pertanian meniti
k beratkan kepada Peningkatan ketahanan panga
n, serta berkurangnya ketergantungan terhadap pangan impor. Selain itu juga bagaimana nilai tambah dan daya saing komoditas pertanian hingga nantinya ada keragaman pengolahan produk pertanian untuk ekspor dan meningkatkanya surplus perdagangan komoditas pertanian, yang pada akhirnya mesejahterakan petani dan mengurang ikemiskinan. Hal diatas yang menjadi sasaran pembangunan menurut kajian evaluasi revitalisasi pertanian, hanya saja sering ditemukan pada wacana diruang diskusi.
Menyoal orientasi sektor pertanian diProvinsi Banten yang saat ini tidak mengarah kepada hakikat yang sebenarnya,apakah itu menciptakan kesejahteraan petaninya (walfare farm), bahkan tidak hanya memberikan propaganda hasil yang berkelanjutan untuk ketahanan pangan saja, akan tetapi juga perlu membangun perekonomian pembangunan pertanian yang berkeadilan (Justice Farm), sebab potensi pelaku pertanian di Banten lebih dominan petani pekerja dan bukan pemilik lahan.
Sering kali kita dengar dari setiap wacana penguatan katahanan pangan yang stabil di Provinsi banten. Tapi kenyataanya dari petani sendiri banyak termasuk golongan petani miskin, sangat ironis. Bukankah RPJMD di Banten ini lebih mendorong pada pengembangan sektor pertanian. Tapi mengapa kontribusi sektor pertanian dalam PDRB banten sejak tahun 2007 sampai tahun 2011 seperti yang disampaikan pada LKPJ DPRD Provinsi Banten besaran angkanya masih sama sekitar 7.9 %. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah bukan saja kurang memberdayakan petani pada sektor pertanian secara keseluruhan. Selain itu, peningkatan investasi dalam pertanian yang dilakukan oleh investor PMA dan PMDN yang berorientasi pada pasar ekspor umumnya padat modal. Tapi perananya juga sangat kecil dalam penyerapan tenaga kerja, justru malah sebaliknya lebih banyak menciptakan buruh tani.
Mencari Partisipasi Nyata Pemerintah untuk Pembangunan Pertanian Banten yang Masih Tumpang Tindih
Persoalan pertanian di Provinsi Banten masih berkutat dilingkaran klasik, dengan sebaran potensi lahan pertanian petani yang saat ini sangat mengkhawatirkan. Hal ini merupakan masalah yang serius, betapa tidak, dengan adanya perubahan alih fungsi lahan dari masalah jaringan irigasi yang masih merupakan lahan persawahan masih menggunakan sistem pengairan tadah hujan. Ini membuktikan sepanjang tahun(panen 2-3 kali/tahun) tidak dapat berproduksi, melainkan hanya berproduksi pada musim penghujan saja (panen 1-2 kali/tahun). Dari permasalahan alih fungsi lahan yag ada saat ini, tentunya mempertanyakan kembali kinerja yang masih tumpang tindih, bahwa seolah-olah perencanaan dan pembangunan infrastruktur pertanian yang ada saat ini dinilai masih mandul, belum lagi jika masyarakat bertanya kemana anggaran yang telah diplotkan, kerena tidak adanya sosialisasi yang baik terhadap program, dan transparansi penggunaan anggaran. Wajar masyarakat petani di Banten mempertanyakanya. Melihat tumpang tindihnya regulasi pembangunan pertanian yang ada saat ini, dengan tidak adanya sinergisitas antara Distanak dan PU, baik Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, seolah-olah mengesampingkan kepedulian, serta keberlangsungan masa depan pertanian Provinsi Banten.
Beberapa bukti, terkait dengan penunjang infrastruktur pertanian yang ada bisa di nilai 75% jalan-jalan didesa rusak parah. Bagaimana mungkin berbicara akses moda transportasi yang mendukung aksebility pertanian jika sampai saat sekarang ini saja belum ada perbaikan.
Membandingkan besaran realisasi anggaran belanja daerah yang tercatat pada Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset DaerahProvinsi Banten. Dari data yang ada selama tahun 2011 saja, sudah mencapai Rp 3,49 triliun, berbeda dari tahun sebelumnya sebesar Rp 2,51 triliun.Tumpang tindih wilayah kebijakan pusat dan provinsi pada pendistribusian alokasi bantuan pertanian juga menjadi masalah yang berkepanjangan dan terus dipertanyakan, atas kinerja Distanak Provinsi Banten.
Kawasan RencanaTata Ruang Wilayah (RT RW) Industri Pertambangan, Pusat Perbelanjaan danPengembang Perumahan Sarat Pesanan Pengusaha
Ancaman konversi lahan pertanian di Provinsi Banten sudah mencapai pada level yang tinggi, pengembangan sektor pembangunan ekonomi lebih diprioritaskan pada peningkatan PAD yang menurut pemerintah Provinsi Banten sangat krusial. Selain itu bagaimana mungkin meningkatkan swasembada pangan untuk memperkuat pertanian. sementara pada sisi lain lahan produktif pertanian dijadikan lahan perumahan, sangat bertolak belakang. Masyarakat di Banten menanggung derita dengan berkurangnya lahan pertanian disulap menjadilahan komersil, tentunya tetap saja ada yang termarjinalkan.
Jika mengacu kepada implementasi Undang-undang (UU) No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B). Di dalam UU tersebut, tertuang melindungi dan menjamin kawasan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, mewujudkan kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan,serta melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani. Selain itu,Pada pasal 44 juga disebutkan, lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dilindungi dan dilarang keras dialih fungsikan. Demikian juga dalam Pasal 72 diatur sanksi hukum bagi para pelaku alih fungsi lahan pertanian dengan ancaman pidana penjara maksimal lima tahun dan denda maksimalRp 1 Miliar. Bila pelanggaran itu dilakukan pejabat, maka sanksinya lebih berat sepertiga dibanding ancaman hukuman tersebut.
Tampaknya UU tersebut diatas dikesampingkan sehingga beberapa kajian diskusi Lembaga Gerbang Banten dengan beberapa media lokal yang konsen terhadap pengembangan ekonomi pertanian. Kajiannya adalah, bahwa adanya tumpang tindihUU No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang seolah-olah sarat kepentingan pengusaha. Dimana pada bab IV pasal 7 ayat 2 tertuang bahwa negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada pemerintah dan pemerintah daerah. Hal ini yang terus menjadi sorotan beberapa kawan-kawan penggiat lembaga swadaya masyarakat (LSM). Selain itu wilayah hukum untuk mematahkan kekuatan UU No. 41 tersebut diatas lebih kepada tinjauan arah pembangunan yang sudah diketuk. Lebih mengacu kepada RT RW, wallahu alam.
Belum adanya perda yang mengatur secara benar terhadap regulasi yang menyangkut pelanggaran alih fungsi lahan pertanian di Banten secara serius. Serta tidak adanya pengawasan kontrol yang memadai dari seluruh steakholders di Banten, jangan sesalkan akhirnya kedepan jumlah lahan produktif menjadipertambagan, industry, perumahan yang justru menggeser jamrud hijau yang ada diBanten.
Konsep RT RW yang ada saat sekarang ini perlu dikaji ulang, tidak adanya keberpihakan regulasi yang menentukan masa depan pertanian yang baik. Masyarakat menilai dari hasil FGD (FokusGroup Diskusi) Lembaga Gerbang Banten bahwa tupoksi pertumbuhan pembangunan yang ada saat ini menggagu aksebility sub sektor pertanian rumah tangga. Studi kasus alih fungsi lahan pertanian rumah tangga dengan adanya pembangunan sektor industri, pertambangan, mall dan pengembang perumahan yang ada saat ini mengurangi luas lahan pertanian.Tampaknya masyarakat tidak mempersoalakan atas potensi pembangunan yang ada dengan kurangnya pengetahuan (SDM) dan partisipasi masyarakat saat ini. Jika hal ini akan diteruskan secara terus-menerus, wilayah kontrol pembangunan yang ada saat ini menjadi ancaman pembangunan yang kebablasan. Bisa dibayangkan dengan laju pertumbuhan penduduk dan urbanisasi yang semangkin meningkat, Banten akan hilang dari sejarah warisanya.
Maraknya pembangunan industri, pusatperbelanjaan dan pengembang perumahan yang kian hari terus akan bertambah dengan mudahnya perijinan usaha pembangunan oleh pemerintah disinyalir menjadi pesanan pengusaha semata. Selain itu penentuan lokasi pembangunan dengan kajian RT RW yang masih di permasalahkan, justru tanpa kajian dan perencanaan yang tidak melibatkan masyarakat. Akan berdampak kepada analisis dampak lingkungan (AMDAL) yang semangkin melebar pada degradasi lingkungan.
Menggambarkan Penilaian Kelembagaan Petani saat ini dibentuk Hanya untuk Mengejar Program
Keberadaan kelembagaan petani diProvinsi Banten dengan jumlah 3.200 kelompok tani (Gapoktan) tidak dapat dibuktikan produktif kinerjanya, lemahnya tingkat pendampingan pada wilayah-wilayah UPT Pertanian dan kurangnya tenaga penyuluh pertanian yang produktif. Persoalan pendampingan petani hingga saat ini, belum begitu dirasakan oleh masyarakat petani di Provinsi Banten. Padahal tupoksi Pegawai Penyuluh Lapangan (PPL) memilikipembagian wilayah binaan disetiap areal pertanian.
Jika melihat keberadaan beberapa program-program pertanian yang ada saat ini seperti BLM-PUAP, KUT, KUBE serta lainya, sangat menggambarkan bahwa ketika anggaran itu akan didistribusikan.Maka jauh hari sebelum itu, masyarakat berlomba-lomba untuk membuat gapoktan. Prilaku pengauatan daya dukung SDM bagi petani di Banten memang sangat kurang. Sehingga dari pelemahan kelembagaan petani ini, seperti contoh di desa kencana harapan kecamatan pontang wilayah kabupaten serang. Ada indikasi gapoktan subur makmur yang disinyalir melakukan penyelewengan dana bantuan PUAP yang telah di distribusikan seperti yang dilansir oleh media lokal Cahaya Banten TV. Pelemahan kelembagaan petani harus diakui bahwa bukan saja kurangnya kontrol pemerintah dan lembaga publik lainya, akan tetapi hal itu datang dari kepribadian induvidu pelaku petani itu sendiri. Kurangnya asistensi dan pendampingan terhadap beberapa program yang diharapkan sehingga temuan advokasi lainya dari deep interview dengan masyarakat petani, di beberapa kabupaten seperti lebak, pandeglang, dan kabupaten serang. Mengungkap bahwa memang kelembagaan organisasi yang baru dibentuk saja, asal sudah terdaftar sudah bisa mendapatkan bantuan.
Selanjutnya keberlangsungan program pertanian yag ada juga hanya sebatas program saja tanpa adanya pendampingan penuh. Beberapa program bantuan pemerintah baik itu dana alokasi khusus (DAK) yang bersumber dari APBN bahkan APBD sekalipun masih kurang tepat sasaranya. Masyarakat petani menilai bahwa memang dengan adanya UPT Pertanian yang ada saat sekarang ini, hanya sebatas pos dan penempatan saja. Padahal potensi sebaran pertanian di kabupaten/kota Provinsi Banten dengan keberadaan petani yang memerlukan dukungan dan pengetahuan teknis pendampingan pertanian sangat dibutuhkan bagi petani, guna mendukung penguatan pertanian di Provinsi Banten.
Harapan dan Kebijakan Pemerintah yangt ak Pasti bagi Petani
Keprihatinan dengan masa depan masyarakat di Provinsi Banten yang kian hari belum menunjukkan kesejahteraan yang sejatinya lepas dari permasalahan arah kebijakan yang tidak berkeadilan. Penanganan program pembangunan yang terkait dengan sektor pertanian, masih lumpuh total terutama pada wilayah infrastruktur pertanian, serta infrastruktur transportasi pertanian. Upaya yang dilakukan pemerintah Provinsi Banten belum menyentuh prsoalan mendasar, diantaranya prinsip-prinsip pengembangan pembangunan pertanian.
Pemberdayaan dan penguatan pertanian sangat lemah, hal ini membuat tingginya urbanisasi masyarakat petani pada sektor-sektor lapangan pekerjaan. Terlebih saat ini sebagian masyarakat desa enggan bertani karena lebih memilih menjadi buruh, TKI, dan sebagainya. Hakikatnya petani merupakan masyarakat kalangan menengah ke bawah yang mandiri. Mereka belum mendapa tbimbingan optimal dari pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraannya. Kita tidak bisa membiarkan mereka mengelola pertanian secara tradisional dan konvensional. Perlu mengubah pola itu, dan perlu keberanian mengubah tata cara kehidupannya.
Oleh kerenanya Pemerintah perlu cepat melakukan upaya itu untuk mengubah kehidupan petani, dari kelompok yang dilupakan menjadi sosok yang dibutuhkan.Pemerintah juga harus memperhatikan dan mendudukan kebersamaan membangun kesejahteraan petani. Hingga tidak hanya menjadikan petani sebagai objek regulasi, tapi juga memanusiakan petani. Sehingga pengembangan pertanian dari hulu ke hilir terwujub. Begitu besar beban hidup petani, apalagi mereka yang tidak memiliki lahan. Jangan sampai kemiskinan yang mereka lawan terus menghimpit atas regulasi dan partisipasi dan harapan petani kepada pemerintah. kerena itu mereka juga minta perhatian yang berkeadilan disaat mereka melawan politik pasar. sering sekali, ketika petani punya uang,pupuk menghilang dari pasaran. Seandainya pupuk sudah ada, harganya tidak terjangkau, hal yang sangat ironi belum lagi petani sering menjad ibulan-bulanan tengkulak yag terstruktur karena pemerintah tidak mungkin membeli hasil panen petani.
Studi kasus pertanian di Indonesia pada umumnya dan khususnya di Banten. Dalam menghadapi persoalan saat ini, dimana belum adanya regulasi gagasan yang mengatur perlunya petani memiliki lembaga asuransi yang dapat membantu menanggung resiko petani.Tidak hanya menanggung risiko gagal panen tetapi juga jaminan hidup (kematian dan sakit). Asuransi memberikan kepastian, sehingga petani lebih berkonsentrasi menggarap sawah. Hal inilah yang perlu menjadi masukan terhadap kemerosotan dan morat –maritnya pertanian di Provinsi Banten. Jika Lahan petani sudah tidak ada lagi, masih ada cangkul dan kerbau untuk bertani, jika cangkul dan kerbau sudah tak ada lagi, dengan apa petani melawan kemiskinan, sebab yang mereka biasa lakukan hanya bertani.