“Dahulu kami sering kelaparan, kami tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar keluarga, dan anak-anak kami tidak dapat mengenyam pendidikan ” ungkap Anggal, petani Bonde yang merupakan Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Cabang Manggarai Timur ketika mulai bercerita tentang perjuangan reklaiming tanah adat tahun 2001 yang pernah dikuasai oleh Seminari di Kisol, Nusa Tenggara Timur. “Saat ini semua keadaan berbalik, kami tidak lagi mengalami kesulitan, kehidupan kami dibalut ketenangan karena memiliki lahan yang dapat diolah menjadi sandaran hidup,” tambah Anggal.
Tanah seluas 700 Ha yang terletak di wilayah Bonde, Kecamatan Borong, Kelurahan Tanah Rata, NTT, tepat di bawah kaki gunung Ndeki ini dibutuhkan waktu 2 jam perjalanan dengan jalan kaki, jika menggunakan kendaraan bermotor dapat ditempuh dengan waktu 30 menit dari ibu kota Kabupaten Manggarai Timur. Arah Selatan dari wilayah tersebut berbatasan dengan laut Sawu, Flores dan lokasi tanah mencapai 50 m diatas permukaan laut.
Diatas tanah tersebut para petani berhasil mereklaiming lahan seluas 700 Ha yang merupakan hak petani di wilayah Bonde, dari pihak Seminari. Tanah tersebut awalnya merupakan wilayah masyarakat adat Rongga yang terdiri dari 14 Suku. Pada tahun 1965 masyarakat adat Rongga menyerahkan lahan seluas 1000 Ha kepada masyarakat untuk dijadikan penggembalaan bersama hewan ternak mereka. Akan tetapi, lahan dikuasai oleh Seminari, diareal tanah tersebut dipagar oleh pihak Seminari sehingga petani tidak dapat memanfaatkan tanah untuk kelangsungan hidup mereka.
Kondisi diatas membuat para petani menuntut hak atas tanah mereka kembali kepada pihak seminari yang telah mengingkari janjinya dengan memanfaatkan dan menguasai lahan tersebut tanpa memberi akses kepada petani untuk menggarapnya. Meskipun demikian, Seminari hingga saat ini masih menguasai lahan seluas 200 Ha.
Lahan seluas 700 Ha ini dihuni 80 Kepala Keluarga (KK) seluruhnya bekerja di sektor pertanian. Di Lahan tersebut terdapat berbagai jenis tanaman antara lain, jagung, kacang, pisang, padi, umbi-umbian, jati, mahoni, mindi, kelapa, sorean, dan mente. Selain bercocok tanam petani juga memelihara hewan ternak antara lain, babi, sapi, kambing, ayam. Serta secara bertahap petani di daerah sekitar akan memasuki lahan yang telah di reklaiming untuk melakukan kegiatan bercocok tanam.
Dengan memanfaatkan lahan pertanian tersebut, kini petani dapat membiayai kehidupan mereka, tanpa harus merisaukan bagaimana nasib tidak menentu yang mereka alami sekian tahun. Hasil pertanian yang mereka kembangkan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, biaya kesehatan, serta membiayai sekolah anak-anak mereka. “Kami sungguh bersyukur atas tanah yang diperoleh, tanah akan kami gunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat desa sekitar, hingga tercapai kesejahteraan bersama,” tutur Anggal.
Ali Fahmi, Ketua Departemen Penguatan Organisasi SPI, mengatakan SPI akan terus memperjuangkan hak atas tanah petani, karena hal tersebut merupakan dasar perjuangan organisasi SPI yaitu melakukan Pembaruan Agraria. “Tanpa tanah petani tidak akan mencapai kemakmuran dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik,” ungkap Ali.