JAKARTA. Draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang saat ini sudah sampai tahap pembahasan di Panja DPR ternyata masih jauh dari harapan. Achmad Ya’kub, Ketua Departemen Kajian Strategis Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) menyampaikan bahwa RUU ini masih bias soal bagaimana pangan itu diperdagangkan akibatnya strategi pencapaian kedaulatan pangan tidak akan terpenuhi.
“Kedaulatan pangan mengedepankan produsen sebagai aktor utama dalam pembangunan pertanian dan pangan,” ungkap Ya’kub pada saat menghadiri Diskusi Publik Membedah RUU Perlindungan & Pemberdayaan Petani dan RUU Perubahan UU Pangan di Jakarta, rabu lalu (22/02).
Achmad Ya’kub juga menyampaikan bahwa RUU ini tidak menempatkan produsen pangan sebagai pihak utama dalam hal ini petani kecil dan nelayan. Oleh sebab itu menurutnya, ada syarat kedaulatan pangan yakni adanya alat produksi bagi produsen pangan (untuk petani adalah lahan, bagi nelayan adalah alat tangkap). Dalam hal pertanian reforma agraria adalah landasan dasar bagi pencapaian kesejahteraan petani, ketersediaan pangan, mengatasi pengangguran dan kelaparan. Prinsip selanjutnya adalah hak akses pangan, penggunaan sumberdaya berkelanjutan, pangan untuk pangan, pembatasan penguasaan oleh korporasi, melarang pangan sebagai senjata, akses petani kecil ke perumusan kebijakan.
“RUU Perubahan UU Pangan ini juga masih mengakomodir kepentingan korporasi pangan bukannya mengakomodir kepentingan 28,3 juta petani kecil di Indonesia,” tambah Ya’kub.
Sementara itu, Gunawan dari Indonesia Human Rights Commission for Social Justice (IHCS) menyampaikan bahwa perubahan RUU Perubahan UU Pangan versi masyarakat sipil yang dicita-citakan adalah dengan segera mengatasi problem nasional di bidang pangan dan merubah paradigma dari pilihan kebijakan pangan menjadi pendekatan berbasis hak yang berpedoman pada standar dan indikator Hak Asasi Manusia (HAM).
“Ada tiga hal yang ingin diubah dalam paradigma pangan, pertama pilihan kebijakan ke kewajiban: pendekatan hak atas pangan lebih luas dari pendekatan ketahanan pangan, kedua dari titik berat kepada pasar dan industri pangan menuju penegelolaan sumberdaya produktif melalui pembaruan agraria dan anti liberalisasi pangan, dan ketiga bahwa pelanggaran hak atas pangan dapat digugat dan korban mendapatkan pemulihan hak,” paparnya.
Gunawan menambahkan bahwa dalam RUU Perubahan UU Pangan versi DPR juga mengartikan kedaulatan pangan pada negara dan bangsa. Padahal kedaulatan rakyat, khusus rakyat produsen pangan (petani, nelayan, masyarakat adat) adalah hal utama dalam hak atas pangan, dan sesungguhnya konsep ini juga adalah inisaitif dari organisasi masyarakat.
Sementara itu, Hermanto dari Badan Ketahanan Pangan menyampaikan bahwa pemerintah telah menyusun DIM (daftar isian masalah) dari RUU Perubahan UU Pangan.
“Secara filosofisnya antara pemerintah dan DPR melalui Panja sudah sepakat, ruhnya sudah sesuai, tinggal konsepsinya masuk ke pasal-pasal, sebetulnya itu saja secara umum,” tutur Hermanto.
Dia juga menambahkan bahwa bedanya UU pangan kali ini dengan yang sebelumnya adalah lebih mengedepankan masalah kedaulatan pangan, dimana di dalamnya termasuk kedaulatan petani sebagai produsen dan kedaulatan konsumen.
“Kedaulatan pangan yang juga berdasarkan kemandirian pangan,” tambahnya.