JAKARTA. Dalam rangkaian peringatan Hari Perjuangan Petani Internasional 17 April dan Hari Perjuangan Hak Asasi Petani 20 April, Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) melaksakan diskusi terbatas dengan tema “Menggugat Korporatisasi Pangan Dan Pertanian di Indonesia” di kantor DPP SPI di Jakarta pagi tadi (14/4).
Tejo Pramono dari La Via Campesina (organisasi petani internasional) selaku salah seorang narasumber dalam diskusi ini menjelaskan mengenai korporatisasi agribisnis yang telah mengepung dunia pertanian di Indonesia. Tejo menjelaskan bahwa saat ini korporatisasi agribisnis menjadi hal yang semakin tren di Indonesia, padahal menurutnya berdasarkan IAASTD 2008 (International assessment on agricultural science and technology for development ) telah disepakati bahwa model pertanian berbasiskan pasar atau industrial tidak bisa diterapkan lagi di dunia saat ini. Konsep korporatisasi agribisnis ini menganggap bahwa rakyat akan sejahtera apabila dunia pangan itu dipegang dan dikuasai oleh perusahaan-perusahaan, karena sistem pengelolaan lahan perkebunan ataupun lahan pangan yang terpadu mampu menyerap tenaga kerja yang besar dengan iming-iming upah yang besar juga. “Korporatisasi agribisnis ini diwujudkan pemerintah kita melalui program food estate di Merauke yang dapat mengancam keberlangsungan hidup petani kecil” ungkapnya.
Tejo menambahkan bahwa konsep food estate ini mulai mendunia sejak krisis pangan dunia pada tahun 2008 yang lalu. Krisis pangan ini juga diikuti oleh krisis keuangan dunia sehingga banyak perusahaan-perusahaan bisnis derivatif -yang sebelumnya telah mengalami kerugian dan hampir runtuh (bahkan runtuh)- yang membanting haluannya dan beralih ke sektor riil seperti pertanian. Selanjutnya terjadi jugalah dengan apa yang disebut food outsourcing, seperti perusahaan-perusahaan pangan Jepang yang menanam beras di Thailand namun hasil produksinya bukan untuk masyarakat Thailand melainkan untuk mencukupi kebutuhan beras di Jepang sendiri dan diekspor kembali ke negara-negara lain. Program food outsourcing ini dijalankan oleh negara-negara maju karena biaya produksi yang sangat tinggi di negaranya, sedangkan di negara-negara berkembang biaya produksi cenderung jauh lebih kecil. “Jadi saya yakin, kalau food estate itu tetap dijalankan pemerintah, maka hasil produksinya bukan untuk rakyat Indonesia melainkan digunakan untuk mendatangkan keuntungan bagi perusahaan-perusahaan yang mengelola food estate tersebut” tegasnya.
Ketua Umum SPI, Henry Saragih dalam diskusi ini menjelaskan bahwa pada penghujung tahun 2009 lalu, pemerintah mengadakan National Summit yang membahas upaya pemerintah memberikan berbagai kemudahan berusaha dan berinvestasi kepada investor termasuk dalam sektor pangan dan pertanian. Sebagai implementasi dari hasil National Summit ini, pemerintahan SBY memasukan agenda pelaksanaan food estate dalam Program 100 harinya. Awal tahun 2010 Departemen Pertanian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) no. 18 tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman sebagai payung hukum pelaksanaan food estate setelah sebelumnya hanya dimasukkan dalam Peraturan Presiden No 77/2007 tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan Terbuka. Hal ini akan semakin meminggirkan akses petani terhadap sumber-sumber agraria.
“Terhambat atau hilangnya akses petani terhadap sumber-sumber agraria ini juga akan memperburuk keadaan kerawanan pangan di pedesaan pada khususnya” ungkap Henry.
Diskusi ini juga dihadiri oleh Pof. Eriyatno dari Institut Pertanian Bogor dan perwakilan-perwakilan ormas tani dan LSM yang cukup peduli terhadap isu-isu petani dan lingkungan seperti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Bina desa, Solidaritas Perempuan, IHCS (Indonesia Human rights Committee for Social justice), Walhi, Koalisi Anti Utang (KAU) dan lainnya.