JAKARTA. Saat ini masyarakat dunia menghadapi permasalahan mendasar,migrasi, kelaparan, krisis pangan, hingga perubahan iklim. Sementara itu petani dan masyarakat yang bekerja di daerah pedesaan adalah penyedia pangan, penegak kedaulatan pangan, dan memberi makan masyarakat dunia yang memberi solusi bagi permasalahan-permasalahan terbut, sedangkan hak asasinya kerap dilanggar. Berangkat dari hal ini Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama La Via Campesina (gerakan petani global) berusaha memperjuangkan agar lahir sebuah deklarasi internasional tentang hak asasi petani.
Perjuangan SPI bersama La Via Campesina, untuk mencapai Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak Asasi Petani dan Masyarakat Pedesaan [selanjutnya disebut “deklarasi”] saat ini memasuki masa-masa yang krusial.
Ketua Umum SPI Henry Saragih menerangkan, setelah sesi ke-4 Kelompok Kerja Antarpemerintah PBB (OEIWG) mengenai hak-hak petani (15-19 Mei 2017), naskah deklarasi tersebut sekarang hampir selesai. Asia adalah salah satu kelompok regional yang terus mendukung inisiatif ini. Adalah penting untuk menjaga posisi pemerintah-pemerintah kita untuk mendukung proses di Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Jenewa.
“Lebih jauh lagi, peran pemerintah Indonesia sangat krusial, karena selama ini Perwakilan Tetap RI di Jenewa terus mendukung proses deklarasi. Untuk itu, kerja-kerja untuk terus memastikan dukungan pemerintah Indonesia juga sangat penting,” kata Henry pagi ini (27/03) dalam acara Konsultasi Regional, Pelatihan, dan Pertemuan La Via Campesina tentang Hak Asasi Petani di Jakarta.
Henry melanjutkan pertemuan ini penting sekali demi memperkokoh masukan untuk deklarasi – dengan beberapa hak mendasar bagi petani seperti; hak atas tanah dan teritori; hak atas benih dan pengetahuan dan praktik tradisional; hak atas keanekaragaman hayati; dan kewajiban negara.
“Dokumen masukan akan La Via Campesina bawa pada sesi kelima OEIWG ke di bulan April 2018,” katanya.
Zainal Arifin Fuad, anggota International Coordinating Committee (ICC) La Via Campesina menambahkan, perjuangan menegakkan hak asasi petani dimulai dari pelosok-pelosok desa di Indonesia oleh SPI dan gerakan masyarakat lain.
“Konferensi Hak Asasi Petani di Cibubur tahun 2001 adalah salah satu tonggak awalnya. Alhamdulillah kita berhasil bawa hingga ke tingkat internasional ke Dewan HAM PBB,” imbuhnya.
Kim Jeongyeol, dari Korean Women Peasants Association (KWPA) menyampaikan, nantinya deklarasi ini sangat berarti sekali untuk memperjuangkan hak-hak asasi petani, terkhusus hak-hak petani perempuan yang sering terpinggirkan.
“Kita petani perempuan harus menunjukkan pentingnya peran kita sebagai penegak kedaulatan pangan ke masyarakat dunia,” tuturnya.
Joseph Purugganan dari Focus On Global South menggarisbawahi, petani harus berjuang untuk melawan kekuatan korporasi yang terbukti merampas hak asasi petani itu sendiri.
“Perjanjian perdagangan bebas antar negara juga merampas hak asasi petani. Benih, pangan, lahan, harus dikuasai oleh rakyat, oleh petani bukan korporasi,”
Memperkuat Perjuangan
Ahmad Taufan Damanik, Ketua KOMNASHAM (Komite Nasional Hak Asasi Manusia) RI yang membuka acara ini menegaskan, konfik agraria yang melanggar hak asasi petani adalah salah satu laporan pelanggaran yang paling banyak masuk ke lembaganya.
“Kami di KOMNASHAM sudah bekerja semakismal mungkin, tapi secara legal kami memiliki keterbatasan. Contohnya kami bisa memanggil pimpinan lembaga atau perusahaan yang diduga melanggar HAM, hak asasi petani, tetapi ketika mereka tidak datang, kami tidak bisa memanggil secara paksa,” tegasnya.
“KOMNASHAM terkendala sistem yang tidak dapat memberikan sanksi bagi yang tidak datang dalam panggilan (kami),” lanjutnya.
Untuk itu Ahmad Taufan Damanik mengemukakan, harus dibangun jaringan advokasi yang melibatkan semua pihak, mulai dari KOMNASHAM, ormas tani seperti SPI, LSM, akademisi, dan lainnya yang bisa memperkuat tekanan ke negara untuk menegakkan hak asasi petani.
“Mengenai konflik agraria yang bersinggungan dengan kepolisian, kami selalu meminta mereka untuk memberi jaminan untuk melindungi dan menjaga,” tuturnya.
Hendra Harahap, Direktur PUSKAHAP (Pusat Kajian Hak Asasi Petani) Fakultas Ilmu Sosial Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara menyampaikan, PUSKAHAP bisa membuat naskah akademi melalui KOMNASHAM.
“Hak asasi petani harus dikaitkan dengan isu-isu lingkungan. Soal infrastuktur, adat, dan investasi menjadi salah satu penyebab kasus-kasus yang terjadi di lahan petani. Kita bantu dari sisi akademisi,” katanya.
Zubaidah, Ketua SPI Sumatera Utara menambahkan, tahun lalu tepat setahun konflik agraria di Desa Mekar Jaya, Langkat, Sumatera Utara yang menghancurkan lahan pertanian dan rumah petani, serta kriminalisasi fisik petani.
“JIka deklarasi ini sudah ada dan diadopsi di masing-masing negara, seperti di Indonesia, semoga bisa digunakan untuk memperkuat perjuangan menegakkan reforma agraria, mempertahankan hak asasi petani, dan menegakkan kedaulatan pangan,” tutupnya.
Sementara itu, acara ini sendiri dilaksanakan selama tiga hari, 27-29 Maret 2018, di Jakarta.
Kontak selannjutnya:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668
Zainal Arifin Fuad – ICC La Via Campesina – 0812 8932 1398
Zubaidah – Ketua SPI Sumatera Utara – 0813 6281 2043