Sawit dan Eksistensi Perkebunan
Bicara sawit maka akan bicara pula tentang perkebunan. Kedua kosa kata ini melekat satu sama lain. Saking melekatnya, sehingga keberadaan keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Kelapa sawit dan perkebunan adalah sebuah entitas yang tidak hanya ditandai oleh hamparan luas dan rimbunnya tanaman sawit tapi juga menyangkut dinamika interaksi sosial serta realitas kehidupan masyarakat yang ada di dalamnya
Penelusuran secara historis, tanaman kelapa sawit mulai masuk ke Indonesia pertama kali pada tahun 1848 oleh peneliti Belanda. Bibit sawit ini berasal dari Mauritius (Afrika) kemudian ditanam di Kebun raya Bogor. Pohon sawit inilah kemudian yang menjadi induk bagi semua pohon sawit yang ada di kawasan Asia tenggara dan. Di Indonesia, perkebunan sawit pertama kali dibangun secara komersial di Sumatera Utara pada tahun 1911.
Tanaman sawit ini kemudian ditanam secara massif (besar-besaran) pertama kali oleh seorang berkebangsaan Jerman bernama K. Schadt pada tahun 1911 di tanah konsesi di Tanah Hitam Ulu, Asahan Sumut sebanyak 2.000 bibit . Kemudian pada tahun yang sama seorang Belgia bernama Adrian Harlet melakukan penanaman sawit dalam skala besar di Aceh Timur dan Asahan. Sejak inilah kemudian perkebunan sawit mulai mengalami perkembangan secara besar-besaran; dan berlanjut pada masa orde baru hingga saat sekarang ini. Selanjutnya didirikan Pusat Pemuliaan dan Penangkaran Sawit di Marihat (belakangan dikenal sebagai Avros),
Perkebunan Sawit dan Petani : Beberapa Fakta
Ada yang kontradiksi ketika perkebunan sawit semakin berkembang di daerah ini. Salah satunya adalah semakin banyaknya mucul kasus tanah yang menghadapkan perkebunan dengan warga masyarakat yang ada di sekitarnya, khususnya petani. Di Sumatera Utara sepanjang tahun 2008 terdapat 870 kasus tanah sebagaimana yang dilansir oleh BPN Sumut (Harian Sinar Indonesia Baru, 15 Juni 2008). Dari beberapa fakta kasus yang ada menunjukkan bahwa intensitas kasus cenderung semakin meningkat. Konflik yang terjadi melibatkan pihak perkebunan baik BUMN maupun swasta dengan petani dan warga masyarakat yang ada di sekitar perkebunan. Bahkan ada kasus yang sudah mulai muncul sejak masa kolonial Belanda.
Semakin meluasnya pembukaan lahan perkebunan sawit, akibat booming harga minyak sawit dan menguatnya permintaan pasar internasional telah mendorong semakin meningkatkan kebutuhan akan tanah untuk ditanami sawit. Keadaan ini serta merta telah memicu terjadinya konflik pertanahan antara pihak investor dengan petani maupun warga yang ada di sekitar perkebunan. Inilah salah salah satu fakta terkuat yang acapkali muncul mewarnai perjalan perekebunan sawit di daerah ini. Perkebunan sawit telah menjadi momok bencana, ketimbang membawa anugrah bagi petani. Hal ini semakin dikuatkan dengan kondisi kehidupan masyarakat di sekitar perkebunan khususnya petani yang tetap tidak bergeming dari kemiskinan dan kesulitan hidup secara ekonomis. Petani dan warga masyarakat sekitar hanya menjadi penonton, sesekali bahkan menjadi buruh kutip buah di perkebunan dengan upah yang tidak seberapa.
Petani yang seharusnya mendapat tempat yang penting di negeri ini, namun faktanya adalah sebaliknya ketika kebutuhan mereka akan tanah untuk tanaman pangan akhirnya harus berhadapan dengan pihak pengusaha dan perkebunan yang ingin menguasai dan membutuhkan tanah untuk perluasan perkebunan sawit.
Berkurangnya lahan untuk kegiatan pertanian serta kurangnya perhatian dan keberpihakan pemerintah terhadap petani, kehidupan petani menjadi sangat memprihatinkan. Semakin terbatasnya ketersediaan lahan untuk pertanian diakibatkan penguasaan oleh pihak perkebunan membuat petani semakin sulit untuk memproduksi tanaman pangan. Petani tidak lagi memiliki lahan yang cukup untuk dapat ditanami oleh tanaman pangan seperti padi. Namun ironisnya , ketika petani menuntut hak atas tanah, acapkali direspon dengan cara-cara yang tidak simpati dan berlebihan utamanya oleh pihak perkebunan; yang biasanya dibackup sepenuhnya oleh state apparatus. Petani acapkali dikriminalisasi karena mempertahankan haknya atas tanah. Inilah salah satu salah satu fakta yang sering dialami oleh petani yang berada di sekitar perkebunan.
Akibat semakin berkurangnya lahan pertanian yang lebih banyak digantikan oleh perkebunan sawit, sehingga produk pertanian gagal memenuhi kebutuhan pangan rakyat. Rawan pangan dan ketergantungan pada beras dari luar menjadi fenomena yang tak terelakkan dan terjadi saat ini. Bencana kelaparan sepertinya bakal menjadi sebuah keniscayaan.
Terkait dengan perayaan seabad sawit (Maret 2011) dikaitkan dengan kondisi kehidupan para petani, perlu ada peninjauan kembali terhadap eksistensi perkebunan sawit yang ada di negri ini. Apakah memang kehadiran perkebunan sawit mampu memberi manfaat dan bagi semua; atau hanya menguntungkan pihak perkebuann semata. Apakah kehadiran perkebunan mampu menghapuskan fenomena kemiskinan yang ada di daerah ini. Seberapa berkurang jumlah orang miskin dengan adanya perkebunan sawit. Dan seberapa banyak sudah orang yang bebas dari rasa sakit dan terlepas kebodohan serta memilikii masa depan yang lebih seiring dengan semakin meluasnya perkebunan sawit. Pertanyaan ini akan sulit dicari jawabnya jika orientasi pengusaha perkebunan sawit hanya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar internasional dan kurang memberikan perhatian pada kehidupan ekonomi dan kondisi lingkungan yang ada di masyarakat sekitarnya.
Implementasi program tanggungjawab sosial yang selama ini menjadi salah satu solusi untuk mewujudkan kepekaan terhadap lingkungan sosial, tampaknya masih setengah hati dilakukan. Karena banyak program CSR yang diluncurkan oleh pihak perkebunan baik BUMN maupun swasta yang kurang tepat sasaran. Program CSR hanya diperoleh oleh kalangan ”orang dalam” perkebunan yang sengaja dikondisikan untuk mendapatkan program CSR. Dengan kata lain program CSR dirasakan kurang maksimal karena tidak dilakukan secara objektif.
Fakta lainnya adalah bahwa tanaman sawit ini sangat rakus air, sehingga mematikan tanaman lain yang ada di sekitarnya. Secara ekosistem tanaman ini sangat mengganggu bagi tanaman lainnya, khususnya dalam hal pemenuhan akan air. Sehingga cenderung mengancam keberlangsungan hidup tanaman yang ada disekitarnya.
Meskipun data statistik menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang hidup di pedesaan sudah berkurang dari 80% menjadi 70% namun tidak serta menunjukkan bahwa desa semakin sejahtera dan kemiskinan semakin berkurang. Berdasarkan data BPS pada bulan maret tahun 2007 jumlah penduduk miskin di Indonesia tercatat sebanyak 37. 168.3 sedangkan jumlah petani kita saat ini sebanyak 46.7 juta jiwa. Tampilan angka ini menunjukkan bahwa realitas kehidupan petani kita yang hidup di pedesaan saat ini masih belum beranjak menjadi lebih baik.
Jumlah penduduk di Sumatera Utara berdasarkan data statistik Sumatera Utara tahun 2008 tercatat sebanyak 13 042 317, masing-masing di pedesaan sebanyak 7.110.347 dan diperkotaan sebanyak 5.931.970. Sementara jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 1.613. 800. Jumlah kemiskinan di pedesaan tercatat sebanyak 852. 100 dan di perkotaan sebanyak 761.700.
Komposisi jumlah penduduk sebagaimana tergambar diatas tidak serta merta menunjukkan bahwa telah terjadi transformasi agraria ataupun berkurangnya jumlah petani dan kemiskinan di negeri ini. Potret yang sesungguhnya terjadi adalah BPS gagal mendataangka kemiskinan absolut yang ada pada sektor informal yang merupakan sebuah kategori sosial yag muncul seiring dengan semakin membesarya populasi yag bekerja di sektor ini. Mereka pada umumnya berasal dari warga pedesaan yang gagal mengadu nasib dikota serta warga kota yang hidup subsisten dan menjadi bagian dari warga miskin kota
Transformasi agraria tampaknya masih merupakan sebuah jalan panjang. Karena selama tanah belum didistribusikan secara adil dan merata pada petani maka transformasi agraria merupakan hal yang utopis.
Kondisi kehidupan petani kita saat ini masih sangat memprihatinkan di tengah berkembangnya teknologi, ilmu pengetahuan dan globalisasi. Eksistensi Petani semakin terancam dan semakin kehilangan akses atas sumberdaya (baca: tanah, air dan alat produksi lainya) sebagai sumberdaya yang penting bagi petani. Hal ini masih dipersulit lagi dengan masih banyaknya kasus sengketa tanah serta perlakuan tidak adil yang dialami oleh petani. Sementara itu, berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemeritah ternyata masih jauh dari keberpihakan pada kaum tani. Sehingga petani tetap saja miskin dan termarjinalkan.
Lahirnya berbagai produk peraturan perundangan-undangan seperti UU Perkebunan, UU Pengelolaan Sumberdaya Air, UU Pengelolaan Sumberdaya Alam serta berbagai kebijakan lainnya yang kesemuanya telah memperburuk kehidupan petani karena nyata-nyata bertentangan dengan semangat yang terkandung di dalam UUD 1945 dan UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960. Sebaliknya memberi ruang dan peluang bagi masuknya kekuatan kapitalisme global dalam sektor pertanian dan sektor lainnya.
Sementara itu, tragedi bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, longsor, serta bencana alam lainnya turut memberi andil bagi penderitaan para petani. Masalah perubahan iklim, pemanasan global serta meningkatnya suhu permukaan bumi sebagai akibat kerusakan lingkungan hidup merupakan akibat langsung dari ketidakseimbangan hubungan antara manusia dengan alam yang cendrung memperlakukan alam secara eksploitatif. Inilah sebagian realitas yang memberikan dampak pada kehidupan petani kita saat ini.
Ancaman terhadap petani semakin bertambah serius dengan mewabahnya booming tanaman sawit pada dekade belakangan ini, seiring dengan semakin menguatnya permintaan pasar dunia terhadap CPO dari Indonesia. Harga sawit yang begitu menjanjikan telah mendorong eksodusnya petani tanaman pangan beralih ke tanaman sawit. Di sisi lain, ekspansi perkebunan untuk membuka lahan sawit terus berlangsung dan tidak menunjukkan tanda-tanda berhenti, bahkan proses ekspansi berlangsung hingga ke kawasan-kawasan pesisir. Akibatnya petani semakin kesulitan mendapatkan tanah untuk ditanami.
Sementara itu, tak sedikit pula perkebunan yang berusaha untuk terus mempertahankan tanah yang dikuasai, meskipun sudah habis masa Hak Guna Usahanya (HGU). Inilah yang kemudian memicu terjadinya konflik dengan masyarakat yang ada di sekitar perkebunan, khususnya petani. Dimensi konflik pun meluas tidak hanya berlangsung secara vertikal juga horizontal.
Kehadiran perkebunan sawit di satu sisi telah membawa perubahan, khususnya bagi pihak perkebunan dalam bentuk keuntungan yang sebagian besar merupakan sumber pemasukan bagi negara (devisa), namun tidak bagi warga yang ada di sekitarnya. Masyarakat yang hidup di sekitar perkebunan sawit, utamanya petani tetap saja miskin dan kehidupan ekonominya tidak menjadi lebih baik . bahkan sebaliknya petani semakin kesulitan mendapatkan tanah untuk ditanami karena tanah banyak dikuasai oleh perkebunan.
Kondisi kehidupan petani maupun warga di sekitar perkebunan sangat kontras dengan kehidupan karyawan yang ada di dalam perkebunan. Realitas perkebunan yang cenderung stagnan dan tertutup menjadi salah satu ciri dari realitas perkebunan yang ada saat ini. Dan kondisi ini sesungguhnya tidak berbeda jauh dengan suasana perkebunan pada masa-masa lampau. Artinya struktur masyarakat yang hidup di perkebunan sepenuhnya menggambarkan sebuah realitas kehidupan yang cendrung bergerak lambat, statis dan penuh dengan ketertutupan. Kondisi masyarakat yang cendrung tertutup menyulitkan bagi pihak yang ingin melakukan penelitian terhadap kondisi objektif masyarakat yang ada di perkebunan.
Berbagai Tantangan
Keberadaan perkebunan sawit telah memicu munculnya ancaman serius lain bagi petani, yakni kepentingan yang lebih besar di tingkat global internasional; yang memang tidak menginginkan petani menjadi lebih pintar, sejahtera dan memiliki masa depan yang lebih baik serta berdaulat atas apa yang dimiliki. Tanah sebagai alat produksi dan aset sumber daya yang mutlak harus dimiliki ternyata lebih banyak dikuasai oleh para pemilik modal baik BUMN maupun pihak swasta.
Dalam berbagai fakta yang ada di lapangan petani acapkali berhadapan langsung secara fisik dan vis a vis dengan perusahaan perkebunan yang didukung serta diback-up oleh aparat keamanan. Adalah fakta bahwa banyak petani yang tidak memiliki tanah karena tanahnya dikuasai oleh perusahaan perkebunan secara ilegal. Petani juga tidak memiliki akses terhadap sumber daya dan terbatasnya alat produksi yang dimiliki. Sementara itu, kebijakan pemerintah mencabut subsidi bagi petani menunjukkan ketidakberpihakan pada petani. Sebaliknya kebijakan pemerintah cendrung memihak pada kepentingan para pemilik modal dan perusahaan BUMN utamanya perkebunan yang banyak berkonflik dengan para petani.
Di tingkat global, krisis pangan dunia sebagaimana yang dilaporkan oleh FAO telah memaksa banyak negara, termasuk Indonesia menjalankan berbagai program untuk mengatasi kerawanan pangan seperti : impor beras dan mendorong berperannya korporasi baik nasional maupun internasional dalam program food estate.
Penutup
Undang Undang Pokok Agraria No.5 tahun 1960 tentang reforma agraria merupakan peraturan yang diyakini masih relevan dan masih berpihak pada kepentigan petani. Namun sayangnya UU dan peraturan ini tidak didukung oleh peraturan dan UU lainnya. Bahkan terkesan kontradiksi dan saling meniadakan atu sam lain. Lebih ironis lagi, lahirnya produk peraturan yang terkait sumber daya alam, seperti tidak luput dari intervensi dan kepentingan kapitalisme global.
Pembukaan perkebunan sawit yang berlangsung di daerah ini, disamping membawa keuntungan khususnya bagi pihak perkebunan BUMN dan Swasta namun sekaligus membawa masalah dan merupakan bencana bagi petani yang membutuhkan tanah yang hidup di sekitar perkebunan.
Berbagai fakta kasus konflik pertanahan terus berlangsung di seantero negeri seiring dengan hadirnya perkebunan sawit. Sayangnya keadaan tidak menunjukkan tanda-tanda semakin menurun atau berkurang, malahan sebaliknya menunjukan eskalasi yang semakin meningkat. Kasus pertanahan di wilayah ini ibarat bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Keadaan inilah yang hingga hari ini masih berlangsung hingga peringatan seabad sawit dirayakan di Medan, Sumatera Utara.
Apakah eksistensi perkebunan sawit terus bertahan di tengah kehidupan petani dan warga sekitar perkebunan yang masih miskin dan tertinggal. Sementara itu, berbagai bentuk praktek pelanggaran HAM yang dialami oleh petani seiring dengan adanya perkebunan sawit di daerah ini boleh dikatakan sangat banyak terjadi. Pelanggaran HAM sesungguhnya tidak hanya dilakukan oleh state apparatus yang memback up kepentingan perkebunan; tapi juga pihak perkebunan yang secara nyata telah melakukan pelanggaran terhadap hak ekonomi sosial dan budaya petani yang hidup di sekitar perkebunan. Sayangnya hal ini tampaknya luput dari perhatian para pekerja dan aktivis HAM.
Momentum seratus tahun sawit pada akhirnya membuka mata kita semua tentang sepak terjang perkebunan sawit di negeri ini, khususnya di daerah ini dan kaitannya dengan nasib petani dan warga masyarakat yang hidup di sekitar perkebunan. Tema seratus tahun yang berbunyi: ”Sawit Sahabat Rakyat”, sungguh merupakan sebuah ironi. Dari fakta yang ada selama ini terungkap bahwa kehadiran perkebunan tidak memberikan dampak perubahan yang berarti bagi warga masyarakat sekitar apalagi petani. Bahkan sebaliknya semakin meningkatnya kasus koflik pertanahan yang menghadapkan petani warga sekitar perkebunan dengan pihak perkebunan.
Sejauh ini potret perkebunan yang cendrung eksklusif dan tertutup di perkebunan telah menegaskan bahwa ada sebuah ”realitas” tersembunyi dibalik subur dan gemah ripahnya tanah perkebunan. Sebuah realitas yang sulit diinvestigasi karena sistem yang cenderung tertutup dan sangat rigid. Realitas struktur dan kultur yang tertutup dan rigid inilah; yang menegaskan bahwa perkebunan mewakili sebuah realitas subkultur yang merupakan warisan dari masa kolonial; yang tidak menginginkan adanya sebuah dinamika perubahan.
Momentum peringatan seratus tahun sawit pada akhirnya harus meninjau kembali dampak dan manfaat keberadaan sawit bagi masyarakat sekitarnya. Ini penting agar keberadaan perkebunan sawit benar-benar bisa dirasakan manfaatnya tidak hanya oleh pihak pengusaha perkebunan semata tapi juga terutama pada warga masyarakat yang ada di sekitarnya. Bentuk tanggungjawab sosial yang selama ini diberikan hendaknya tidak hanya terbatas pada pemberian bantuan fisik serta infrastruktur semata tapi juga mampu mendorong terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran bagi warga mayarakat di sekitarnya khusunya petani kecil.
Mengingat banyaknya kasus konflik tanah antara pihak perkebunan dengan petani yang menetap di sekitar perkebunan maka sudah selayakya dilaksanakan moratorium (jeda) terhadap ekspansi dan pembukaan lahan sawit di negri ini atau stop sama sekali. Booming harga sawit dan besarnya permintaan dari Eropa telah menarik minat para inverstor, BUMN maupun palaku bisnis untuk menanamkan investasi di perkebunan sawit. Hal ini telah menimbulkan dampak serius bagi petani. Ironisnya petani juga semakin banyak yang tertarik untuk menanam sawit daripada padi. Penanaman sawit secara massif dan besar besaran telah menimbulkan berbagai dampak, tidak hanya masyarakat tapi juga keseimbangan lingkungan hidup.
Moratorium ekspansi/perluasan tanaman dan perkebunan kelapa sawit harus atau segara dilakukan. Upaya ini bisa juga diikuti dengan melakukan pembatasaan wilayah ekspansi sawit; dan akhirnya stop penanaman sawit pada wilayah-wilayah tertentu. Hal ini penting untuk menghentikan proses eksploitasi oleh pihak investor maupun perkebunan terhadap sumberdaya agraria yang ada di perkebunan. Sehingga petani dapat kembali melakukan penanaman padi dan bukan tanaman sawit. Dengan demikian petani kembali berdaulat penuh atas pangan dan sumber daya agraria yang dimiliki.
==================================================================
Ditulis oleh: Edy Suhartono, Biro Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Utara sekaligus Dosen di Universitas Sumatera Utara
Saya mau tanya, apa pupuk yang bagus Pohon Sawit ya? Mohon bantuannya 🙂