Solusi kadaluarsa G8 untuk krisis pangan

Hampir tidak ada yang baru dalam pertemuan negara G8 di Toyako, Jepang (7-9 Juli 2008). Pertemuan yang digadang-gadang sebagai salah satu forum yang dapat memecahkan masalah dunia—krisis pangan dan iklim—masih meninggalkan beberapa pertanyaan besar.

Pertama, pernyataan legitimasi. Kelompok G8 bukanlah organisasi formal seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan tentunya bukan forum yang tepat untuk menentukan nasib dunia. Kelompok G8 adalah kelompok negara-negara terkaya di dunia—yang berarti terbesar dalam mengonsumsi bahan bakar, menyumbang polusi, dan tentunya dalam perdagangan global. Akibatnya, output pertemuan G8 hanyalah retorika dan komitmen yang sering kali tidak dipenuhi. Output dari pertemuan G8 selanjutnya hanya digunakan untuk memutar kembali kapital bagi konsumsi, produksi, dan keuntungan negara-negara anggotanya. Karena hal inilah, negara G8 sering disebut mafia atau bahkan kartel dalam level internasional.

Kedua, dalam konteks krisis pangan, pernyataan pemimpin-pemimpin G8 pada Selasa (8/7) ternyata tidak menyentuh problem mendasar. Problem mendasar tersebut adalah penyebab dari krisis pangan, yaitu mode produksi, konsumsi, dan distribusi pangan yang selama ini dilakukan oleh negara G8 itu sendiri. Hal ini dilakukan dengan mempromosikan liberalisasi, privatisasi dan deregulasi ala Konsensus Washington. Sejak pertanian dikelola dengan model ini, perusahaan agribisnis raksasa berekspansi dan menggusur tanah rakyat. Harga pun dikendalikan oleh mekanisme pasar, sehingga perdagangan bebas komoditas pangan akhirnya membuat petani merugi. Impor pangan di Indonesia sejak tahun 1997 adalah buktinya, sehingga saat ini kita tergantung pada impor kedelai, gandum, gula, dan beras.

Ketiga, pertemuan G8 dibayang-bayangi kepentingan untuk menghidupkan kembali peran Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Ketiga rejim global ini sekarang tengah terseok-seok. IMF sedang mengalami krisis keuangan internal. Bank Dunia saat ini didorong untuk mereformasi dirinya karena track record-nya buruk sekali dalam kebijakan pertanian yang dituding telah meningkatkan kemiskinan, utang, pengangguran dan kehancuran lingkungan. Sementara itu, WTO kolaps karena negosiasi Agenda Doha mandeg sejak tahun 2006. Pertemuan G8 diharapkan bisa menjadi solusi krisis pangan dan iklim global, dengan menggelontorkan uang dari ketiga lembaga tersebut. Sejumlah 6.5 milyar USD telah disiapkan G8 untuk IMF, dan sekitar 2.5 milyar USD untuk Bank Dunia. Uang ini akan digunakan untuk pinjaman, program, dan bantuan pangan (food aid) yang akan dikoordinasikan via lembaga-lembaga tersebut, dalam kerangka Agenda Doha.

Disini muncul masalah besar. Menghidupkan kembali ketiga lembaga tersebut sama saja dengan jatuh ke lobang yang sama. Faktanya, krisis yang hampir serupa pada akhir 1990-an di Asia tidak ada yang berakhir bahagia untuk negara-negara miskin—jika ditangani oleh Bank Dunia dan IMF. Kita sudah merasakan sakitnya dihujam Structural Adjustment Programme (SAP).

Selanjutnya, solusi yang sama beberapa tahun belakangan akan dipraktekkan: negara-negara diperintahkan membuka pasar dengan iming-iming utang, dan akan ada food aid.

Pertanyaannya: siapa yang beruntung dengan cara ini? Mengurangi subsidi ekspor dan membuka pasar domestik berarti memperlebar jalan masuk bagi produk pangan. Artinya, tingkat konsumsi di negara-negara maju ingin dipertahankan—sementara mereka juga ingin mengekspor kelebihan produksinya ke negara-negara miskin dan berkembang. Selanjutnya, iming-iming utang pasti akan dibayar kembali ke negara-negara ini.

Bantuan program yang dinyatakan dalam pernyataan G8 adalah memenuhi akses terhadap benih dan pupuk. Seperti yang kita tahu, inisiatif yang ada saat ini adalah membuat revolusi hijau jilid kedua. Di Afrika, muncul gerakan Aliansi untuk Revolusi Hijau di Afrika (AGRA), sementara di seluruh dunia muncul inisiatif untuk meningkatkan produksi pangan dengan penggunaan benih hibrida dan transgenik (GMO). Tapi faktanya, aliran uang dalam program ini akan tetap mengalir ke negara-negara G8. Teknologi dan produksi benih serta pupuk masih tetap dipegang negara-negara maju, dan perusahaan agrokimia terkemuka seperti Bayer, DuPont, Monsanto dan Syngenta.

Selanjutnya, food aid. Bantuan dari World Food Programme (WFP) maupun yang lainnya datang dari overproduksi produk pangan di Amerika Serikat (AS), dan juga Uni Eropa (EU). Jadi, solusi yang ditawarkan melalui mekanisme ini jelas hanya upaya laundry uang dan mendapatkan keuntungan bagi negara-negara G8.

Solusi kadaluarsa seperti ini tidak akan bisa memecahkan krisis pangan dan iklim. Selanjutnya, penting untuk mendengar inisiatif rakyat untuk memecahkan masalah tersebut, seperti kedaulatan pangan (food sovereignty) yang dikemukakan oleh La Via Campesina, sebuah organisasi petani internasional. Kedaulatan pangan mengajak kita kembali ke produksi dan konsumsi lokal, sehingga petani dan konsumen memiliki hak untuk memproduksi, mengkonsumsi dan mengendalikan sistem pangannya sendiri. Solusi kadaluarsa ini juga tidak bisa kita biarkan ada di tangan segelintir negara maju, hanya dominasi negara G8 belaka. Apalagi dengan upaya menghidupkan kembali lembaga internasional (IMF, Bank Dunia, WTO) yang terbukti salah kaprah. Saat ini telah muncul pula resistensi dari kelompok G77 plus Cina dan India yang mencoba melawan proses ini. Intinya, suara rakyat dan banyak pihak harus terus didengar, sehingga nasib kita, anak cucu dan penerus bumi tak hanya ditentukan oleh negara G8. Muhammad Ikhwan

ARTIKEL TERKAIT
Food Estate, ancaman bagi pertanian berkelanjutan
Pupuk Langka, Petani Merana Pupuk Langka, Petani Merana
Rayakan Hari Tani Nasional 2017, Ratusan Petani SPI Jambi Ge...
Kasus Mesuji: Puncak Gunung Es Pelanggaran Hak Asasi Petani di Indonesia Kasus Mesuji: Puncak Gunung Es Pelanggaran Hak Asasi Petani ...
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU