JAKARTA. “Dahulu, waktu melakukan pengorganisiran petani di desa kampung halaman saya, saya sering ditentang oleh istri, tapi karena panggilan jiwa, saya tetap saja bersemangat dan maju terus”. Itulah ungkapan hati Mugi Ramanu, pria kelahiran 26 Juni 1967, yang merupakan salah satu potret anak bangsa yang sangat peduli terhadap nasib petani di Indonesia.
Mugi lahir di tengah keluarga yang cukup sederhana. Pada usia 2 tahun, ayahnya meninggal dunia, sedangkan ibunya hanya seorang petani kecil yang harus menghidupi Mugi dan seorang adiknya. Pada saat menginjak remaja, Mugi termasuk murid yang cukup cerdas. Mugi berhasil mendapatkan beasiswa selama SMP. Namun demi membantu penghidupan keluarganya, Mugi terpaksa harus berhenti di tingkat SMP dan tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya.
Perkenalan pria ini dengan dunia pengorganisirin massa petani dimulai pada sekitar tahun 1997. Mugi yang sebelumnya berprofesi sebagai pedagang pakaian ini merasa miris dengan kondisi petani di kampung halamannya, di Batang, Jawa Tengah. “Waktu itu ada konflik lahan seluas 152 hektar di desa saya, kepala desanya ini enggak benar, dia menyerobot lahan petani” ungkap Mugi dengan semangat. Melihat keadaan ini, Mugi bersama rekannya mulai melakukan konsolidasi dengan masyarakat dan petani disana. Mugi menyebutkan bahwa lahan tersebut dulunya tanah milik petani dan pada tahun 1929 dirampas oleh Belanda dan ditanami perkebunan tebu. Setelah Indonesia merdeka, tanah ini diolah pemerintahan daerah dan pernah dipinjam oleh Pemda. Namun hingga tahun 1997, tanah ini tidak pernah dikembalikan ke rakyat.
Pria berkumis tipis ini kemudian melakukan audiensi ke DPR dan Bupati setempat. Pada 1998, Mugi bersama rekan-rekannya kemudian mendirikan FORSOP (Forum Solidaritas Petani Batang) dan dipercaya menjadi ketuanya. FORSOP inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Serikat Petani Jawa Tengah (SPJT). Mugi yang juga deklarator SPJT ini bersama beberapa serikat petani dari provinsi lain seperti Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU), Serikat Petani Kabupaten Sikka(SPKS), Serikat Petani Sumatera Barat (SPSB), dan lainnya kemudian mendeklarasikan lahirnya Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) pada 8 Juli 1998 di desa Lobu Rappa, Kecamatan Bandar Pulau, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Pada Kongres III FSPI yang diadakan pada tanggal 2-5 Desember 2007 di Pondok Pesantren Al-Mubarrak Manggisan, Wonosobo, Jawa Tengah. Pada saat itu, 10 serikat petani anggota FSPI mendeklarasikan diri untuk melebur kedalam organisasi kesatuan yang bernama Serikat Petani Indonesia (SPI).
Pria dengan dua orang anak ini bertutur bahwa akhirnya perjuangannya dan rekan-rekannya meminta kembali hak atas tanah mereka berhasil. Pada tahun 1999, mereka berhasil melakukan reklaiming lahan.
Perjuangan yang dia lakukan tersebut kerap menerima berbagai ancaman dari pihak-pihak yang tidak menyukainya. Ia pernah mendapatkan acaman dari preman yang datang kerumahnya. “Preman itu datang ke rumah saya dan mengancam akan membunuh saya sekeluarga, apabila aktivitas saya mengorganisir petani ini terus saya lakukan, tapi ya karena panggilan jiwa tadi, saya tetap saja maju terus ” ungkap Mugi dengan sangat bersemangat.
Pria yang saat ini menjabat sebagai Ketua Majelis Nasional Petani (MNP) SPI menyatakan SPI sebagai organisasi gerakan massa tani, dalam konteks perjuangannya adalah organisasi tani paling ideal yang memperjuangkan petani miskin. Mugi yang saat ini juga sudah menjadikan bertani sebagai aktivitas utamanya juga mengharapkan dengan SPI, perjuangan pembaruan agrarian dan kedaulatan pangan ini akan semakin global.
“SPI adalah organisasi perjuangan massa petani yang paling berkomitmen dalam memperjuangkan gerakan rakyat” tutur pria ini sambil tersenyum.