PARIS. Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) hadir di Paris, Perancis, dalam rangka COP 21, konferensi PBB yang membahas mengenai krisis iklim dunia.
Dalam sebuah forum paralel – yang digelar tepat di sebelah forum utama COP 21 – oleh gerakan masyarakat sipil, Zainal Arifin Fuad, perwakilan SPI menyampaikan, jika ada komitmen yang serius untuk memecahkan krisis iklim, para pemerintah pasti memeilih bekerja sama dengan petani dan produsen skala kecil lainnya, daripada bernegosiasi dengan perusahaan.
“Kami mewakili petani kecil sedunia menawarkan agroekologi berbasis kedaulatan pangan sebagai solusi krisis iklim,” kata Zainal kepada ratusan orang yang hadir dalam forum tersebut (08/12).
Hal senada disampaikan Josie Riffaud, pimpinan Confederation Paysanne, gerakan petani Perancis, anggota La Via Campesina.
“Agroekologi berdasarkan kedaulatan pangan, adalah sebuah panggilan untuk mengubah sistem pertanian dunia, memberi makan masyarakat dunia, dan di saat yang sama juga mendinginkan planet kita,” katanya.
Sementara itu, Adam Payne, pemimpin muda dari Aliansi Buruh Lahan di Inggris mengecam pendekatan bisnis yang digunakan PBB di konferensi iklim ini.
“Ada inkoherensi dan kemunafikan dalam ruang negosiasi pemerintah. Mereka baru saja membahas solusi berbasis pasar yang palsu seperti REDD + untuk perubahan iklim selama COP 21 ini,” paparnya.
Propaganda Perusahaan
Sementara itu, selama COP 21 ini pihak perusahaan selalu berusaha membuat propaganda, seolah-olah mereka melakukan sesuatu yang berguna dan bermanfaat untuk petani kecil dan bumi pertiwi. Carrefour contohnya, perusahaan yang diundang hadir ke dalam konferensi PBB COP 21 ini, mengemas ulang ide dan konsep agroekologi La Via Campesina kemudian memodifikasinya dan memasukkannya ke dalam materi-materi kampanye dan promosinya.
“Kami mengecam Carrefour yang menawarkan solusi agroekologi palsu yang sudah dimodifikasi demi kepentingan perusahaan berbasiskan profit,” tegas Zainal.
“Kita petani kecil harus berjuang mempertahankan agroekologi sebagai jalan hidup, sebagai bahasa alam, bahasa ibu pertiwi, dan menjaganya dari intrik-intrik perusahaan-perusahaan yang mencoba menggunakannya, memodifikasinya, hanya demi keuntungan mereka,” sambungnya.
Zainal menerangkan, petani kecil berkontribusi dalam menyediakan lebih dari 70 persen pangan untuk masyarakat dunia dengan hanya menguasai 30 persen lahan. Oleh karena itu pemerintah dan perusahaan harus menyerahkan kembali pertanian kepada petani kecil, karena sistem pertanian berbasis industri yang telah dilaksanakan oleh perusahaan telah menghancurkan lingkungan, mengusir petani kecil dari lahannya.
Ahmad Fitriyadi, Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI Sumatera Selatan, yang turut hadir di Paris menjelaskan bahwa ketamakan perusahaan-perusahaan telah mengakibatkan terjadinya salah satu krisis lingkungan terbesar dalam sejarah.
“Baru beberapa minggu lalu, pulau Sumatera, Kalimantan, dan beberapa kawasan di Indonesia mengalami bencana kabut asap akibat ulah perusahaaan-perusahaan yang membakar lahan. Hal ini bukan hanya merusak lingkungan namun juga mengganggu kesehatan ratusan ribu penduduk, dan pastinya mengancam kedaulatan pangan,” katanya.
Ahmad Fitriyadi menambahkan, oleh karena itu sangatlah naif apabila ada yang mengatakan bahwa praktek-praktek perusahaan pertanian mampu menyejahterakan petani kecil.
“Fakta yang terjadi adalah perusahaan pertanianlah penyebab konflik lahan, mengusir petani dari lahannya, merusak lingkungan. Tidak ada jalan keluar lagi dari krisis iklim ini selain menerapkan pertanian agroekologi berbasis kedaulatan pangan yang dilakukan oleh para petani kecil di seluruh dunia,” tambahnya.