MEDAN. Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Utara menyelenggarakan diskusi dan pembahasan mengenai Undang-Undang (UU) Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan) di Medan, Sumatera Utara (25/07).
Diskusi yang dihadiri oleh Ketua Umum SPI Henry Saragih ini mengupas mengenai UU yang baru saja disahkan DPR pada 09 Juli 2013 lalu. Henry memaparkan asal-usul UU Perlintan berangkat dari keadaan di masa Suharto.
“Dulu kalau kita melakukan perkumpulan seperti ini sudah ditangkap sama TNI. Masa reformasi bergulir kita bertanya apa Hak Petani. Kalau pun ada cuma UUPA No 5 Tahun 1960. Nah, jika kita telusuri secara internasional seperti di PBB peraturan yang mengatur petani juga tidak ada seperti misal Buruh, Nelayan, Perempuan dan Anak. Berangkat dari kondisi ini SPI bersama Komnas Ham dan ormas-ormas yang memperjuangkan kaum tani mendiskusikan masalah Hak Azasi Petani dan Pembaruan Agraria. Sehingga akhirnya pada tahun 2001 tepatnya bulan April kita laksanakan Konvensi Hak Azasi Petani (HAP) di Cibubur. Akhir dari acara dan kegiatan itu, diusulkanlah UU Perlintan. Di level internasional tentang perjuangan Hak Azasi Petani juga kita dorong,” paparnya.
Henry melanjutkan,di level internasional dengan bergabungnya SPI bersama La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) membuat perjuangan semakin cerah karena bisa lebih sering mendesakkan hal ini ke PBB di Jenewa, Swiss. Akibat kriris pangan 2008 akhirnya dibentuklah sebuah kajian yang melahirkan dokumen HAP dan mengakui keberadaan orang-orang yang bekerja di desa.
“Pada 27 September 2012 keluarlah resolusi PBB untuk membahas Hak Azasi Petani. Sehingga pada juli ini keluarlah UU Perlintan. Apakah UU ini berubah dari apa yang kita usulkan, benar! Masih sangat jauh dengan apa yang kita bayangkan. Dalam UU ini juga ada menyangkut tentang penguasaan tanah, asuransi, bank, benih dan keorganisasian. Keorganisasian dalam hal ini tidak mengatur Ormas tani tapi cuma sekedar kelompok tani saja. Ini belum 100% menjadi landasan perjuangan tapi dapat dimanfaatkan sekedar saja,” tegas Henry.
Menanggapi hal ini, Majelis Nasional Petani (MNP) SPI asal Sumatera Utara Yunus menyampaikan belakangan ini pemerintah jor-joran untuk membangun kawasan lahan pertanian khusus sawah. Semua dibuka akses untuk dapat modal, namun kenyataannya tidak ada lagi bagi petani.
“Saya berharap UU ini dapat memperkuat perjuangan kasus tanah anggota kita. Dari ketentuan yang ada di UU ini, semoga kita dapat mendesak Pemda untuk dapat mengakses tanah yang menjadi objek alih fungsi. Sehingga tidak ada tawar-menawar urusan lahan yang berpindah-pindah tanah ke orang yang tidak memilki hak. Dalam setiap argumentasinya pasal per pasal dapat kita ambil untuk mendukung perjuangan kita,” ungkap Yunus.
Henry menambahkan, UU ini bisa digunakan dalam perjuangan SPI walau belum semua isinya UU mendukung petani.
“Dalam segi permodalan UU ini memastikan bahwa penerima bantuan modal pertanian hanya kelompok tani yang dikoordinir pemerintah. Mengenai asuransi juga harus kita sikapi dengan seksama karena nantinya kita sebagai petani akan menjadi objek perusahaan. Mengenai Bank dalam proses pinjaman modal kita harus hati-hati karena terbukanya ruang yang seluas-luasnya untuk dapat mengakses kredit,” tambah Henry.
Diskusi ini sendiri dihadiri oleh dua puluhan peserta yang berasal dari DPW SPI Sumatera Utara, hingga petani pengurus Dewan Pengurus Cabang (DPC) SPI se Sumatera Utara.