PADANG. Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Barat (Sumbar) mendesak pemerintah segera menyelesaikan sengketa lahan perkebunan di sejumlah daerah dengan perusahaan perkebunan. Tuntutan ini diwujudkan dengan audiensi mendatangi kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumbar di Padang, kamis lalu (30/06). Audiensi ini mengikutsertakan lebih dari 20 orang yang tergabung dalam 6 basis SPI di Limapuluh Kota dan Pasaman Barat.
Sukardi Bendang, Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI Sumbar menuturkan bahwa pihaknya melakukan audiensi dengan tujuan untuk memastikan data tentang Hak Guna Usaha (HGU) masing-masing perusahaan yang menggarap lahan.
“Satu lahan saja bisa terdapat lebih dari 10 HGU, kondisi ini menjadi dilema di lapangan dan merugikan petani,” ucap Sukardi.
Sukardi juga mengungkapkan bahwa saat ini terdapat tujuh basis SPI yang terlibat sengketa di Sumbar, enam basis di Kabupaten Pasaman Barat dan satu di Kabupaten Limapuluh Kota. Sengketa itu sebagian besar terjadi antara perusahaan perkebunan, meliputi lebih dari lima perusahaan yang beroperasi di Pasaman Barat dan Limapuluh Kota.
Kasus di Basis-Basis SPI Sumbar
Safii, Ketua SPI Basis Batang Lambau, Nagari Kinali menyampaikan bahwa sejak 1960-an, mereka sudah menjadi petani penggarap. Saat itu telah ditanam berbagai jenis tanaman seperti kayu manis, jeruk dan pisang. Bahkan, mereka juga telah membuat bandar sawah bersama. Namun, ketika perusahaan perkebunan PTPN VI masuk tahun 1984, mulai timbul permasalahan. Perusahaan itu melakukan penggusuran dengan alat berat, termasuk merusak tanaman dan lahan persawahan yang telah mereka garap. Lahan warga dikuasai sepihak. Bahkan, mereka yang melawan, ditahan di Polsek setempat.
“Jangankan digarap lagi, untuk masuk ke lokasi tanah itu saja sulit. Kami ditegur oleh satpamnya,” kata Safii.
Seementara itu di di Kecamatan Pangkalan Kotobaru, Limapuluh Kota, juga tak luput dari sengketa lahan. Permasalahan itu menimpa warga transmigrasi. Sejak masuk ke sana tahun 1985, waktu itu petani transmigran mendapatkan kebun karet seluas 2 hektare, lahan pangan seluas 0,75 hektare dan lahan perumahan seluas 0,25 hektare. Sebelum menjadi warga transmigrasi, warga dijanjikan mendapatkan karet 1.020 batang. Tapi realisasinya, tidak kunjung ada seperti yang dijanjikan.
Awal 1987, pimpinan PTPN VI yang waktu itu masih bernama PTP III, berkata bahwa sertifikat warga transmigrasi Pirsus II Kecamatan Pangkalan dan Kapur IX di bawah naungan PTP III telah ada. Tapi, demi keselamatan sertifikat tersebut, maka disimpan di PTP yang kemudian disetujui warga. Seiring perjalanan waktu dan perubahan nama dari PTP III menjadi PTP Nusantara VI dan pertukaran pimpinan PTP, maka bagi yang tidak melunasi utang, semua sertifikat (kebun karet, lahan pangan dan perumahan) tidak dapat diambil warga.
“Di sini kami merasakan ketidakadilan karena dapat karet sedikit dan tidak berutang malah menanggung beban utang warga yang lainnya, dengan kata lain warga yang miskin ikut digadaikan untuk menanggung beban utang warga yang kaya,” ungkap Efi Deliza, Ketua SPI Basis Bukit Talao, Kenagarian Gunungmalintang, Kecamatan Pangkalan Kotobaru, Limapuluh Kota.
Selanjutnya kasus di SPI Basis Jorong Sikabau, Nagari Parit, Kecamatan Kotobalingka, Kabupaten Pasaman Barat.
Dalam Surat Gubernur Sumbar No, 525.26/1889/Prod.1990 tanggal 28 Juli 1990, perihal pencadangan lahan untuk perkebunan kelapa sawit yang ditujukan kepada PT Bakri Nusantara Corporation seluas 16.000 ha di Kecamatan Lembahmelintang, Kecamatan Sungaiaur dan Kecamatan Sungaibaremas, Kabupaten Pasaman Barat. Sementara itu dalam surat pernyataan bersama ninik mamak pemangku adat/pemilik tanah ulayat dalam Nagari Parit dan Airbangis, Kecamatan Sungaibaremas tanggal 24 Agustus 1990, tentang penyerahan tanah ulayat untuk PT Bakri Nusantara Corporation seluas 11.000 hektare. Sedangkan Surat Bupati Pasaman No. 522.11/1441/Asd/1990 tanggal 25 Agustus 1990 kepada Gubernur Sumbar, tentang pencadangan lahan sawit untuk PT Bakri Nusantara Corporation seluas 22.000 hektare.
“Ironisnya sampai sekarang, status tanah itu tidak jelas. Hingga saat ini perkebunan plasmanya tidak ada,” kata Emagusni, Ketua SPI Basis Jorong Sikabau.
Selain itu, juga terjadi permasalahan yang dialami SPI Ulusimpang, Nagari Parit, Kecamatan Kotobalingka, Pasaman Barat. Pada Januari 2011, masyarakat Jorong Tombangpadang, Nagari Parit menyerahkan tanah seluas 640 hektare kepada perusahaan perkebunan sawit PT Sago Nauli dengan sistem bagi hasil. Dan, ternyata 300 hektare dari luas tanah tersebut merupakan tanah Kampung Ulusimpang/kampung lama yang sudah dihibahkan Rajo Nan Bosa Kutub yang sedang dikelola masyarakat Jorong Ulusimpang.
Saat PT Sago Naula sudah memulai pengolahan lahan tersebut untuk perkebunan kelapa sawit, oknum mantan TNI berinisial Nj, warga Jorong Aek na Birong, Nagari Parit yang mendapat izin pengolahan kayu dari Bosa nan Kutub Lubuk Gadang tahun 2002 seluas 100 hektare, mengaku sebagai pemilik tanah seluas 100 ha dari 300 hektare tanah Ulusimpang melalui surat hibah dari Rajo Nan Bosa Kutub/Adam. Saat ini, mantan tentara itu melakukan intimidasi kepada masyarakat yang mengelola tanah di Kampung Ulusimpang.
“Oleh karena itu kami meminta pemerintah dan pihak terkait untuk mendudukan persoalan kepemilikan tanah Kampung Ulu Simpang dengan pihak PT Sago Nauli dan oknum mantan TNI tersebut,” ungkap Andri, Ketua SPI Basis Ulu Simpang.
Sugiono, Ketua SPI Basis Simpangtenggo, Nagari Airbangis, Kecamatan Sungai Beremas, Pasaman Barat, menyatakan bahwa berawal dari surat hibah per tanggal 20 Januari 2008 dari Yulisman St. Parlindungan ( Tuo Waris/Daulat Koto Rajo Pasaman) kepada dirinya sendiri – atas nama Dewan Pengurus Basis (DPB) SPI Simpang Tenggo – yang menyerahkan hibah lahan seluas seluas 2000 hektare. Masyarakat kemudian membuka perkampungan di hutan bekas pengambilan kayu PT Sumber Surya Semesta tersebut. Menurut Tuo Waris, tanah ini hak ulayatnya di bawah kekuasaan Daulat Koto Rajo Pasaman, dan dihibahkan untuk lahan pertanian dan pemukiman masyarakat.
Namun hal yang terjadi di lapangan, aparat masih sering mengintimidasi petani dan mengancam akan memenjarakan mereka jika masih menggarap lahan yang oleh Dinas Kehutanan disebut sebagai kawasan hutan lindung tersebut.
“Kami sudah beberapa kali melayangkan surat langsung ke BPN, Bupati Pasaman Barat, DPRD, hingga Dinas Kehutanan namun belum ada penyelesaian hingga sekarang. Tuntutan kami adalah, berikan tanah, hak pengelolaan dan penguasaan hutan kepada masyarakat Simpang Tenggo,” ungkap Sugiono.
Sementara itu, Ahmad Ja’is, Ketua Basis SPI Air Maligi, Nagari Air Bangis, Kec. Sungai Baremas menyatakan bahwa pihaknya meminta BPN untuk menyelesaikan penyelesaian sengketa plasma dengan PT. Permata Hijau Pasaman dan PT. Gersindo (GMP).
Penyelesaian
Audiensi ini diterima oleh Kepala Kanwil BPN Sumbar, Tri Suprijanto, Kepala Kantor BPN Limapuluh Kota, Kepala Kantor BPN Pasaman Barat beserta staf.
Tri Suprijanto menegaskan bahwa permasalahan yang disampaikan dalam audiensi tersebut, rata-rata terkait perkebunan plasma. Menurutnya, permasalahan terjadi karena banyak pelepasan tanah ulayat tidak dilalui secara musyawarah dan hanya disepakati sebagian pihak. Akibatnya, selalu muncul konflik di tengah jalan.
“Ke depan kita berharap penerbitan HGU dilakukan setelah pembagian plasma diselesaikan,” ujar Tri.
Kebijakan ini juga telah diinstruksikan pada BPN di berbagai daerah, terutama daerah yang rawan terjadi konflik dengan perusahaan perkebunan.
Berdasarkan data dari Kanwil BPN Sumbar, hingga triwulan 2011, total kasus yang masuk terkait sengketa lahan mencapai 564 kasus. Jumlah ini termasuk kasus sisa yang belum terselesaikan hingga akhir 2010 yang mencapai 494 kasus. Sedangkan dalam triwulan pertama, Januari—April 2011, tercatat 135 kasus dan baru 65 kasus selesai ditangani.
“Kami juga akan memanggil kembali perusahaan-perusahaan mengenai perihal penerbitan HGU ini, sehingga sengketa-sengketa ini dapat segera terselesaikan,” tambahnya.
Audiensi Dengan Dinas Kehutanan
Sementara itu keesokan harinya (01/07), bertempat di ruangan Kepala Dinas Kehutan Sumbar, di Padang, DPW SPI Sumbar melakukan audiensi untuk menyelesaikan kasus yang terkait. Audiensi ini juga mengajak empat orang perwakilan dari SPI Basis Simpang Tenggo.
Berdasarkan hasil diskusi pada audiensi ini, Dinas Kehutanan Sumbar menyarankan kepada SPI untuk segera mengurus penurunan status kawasan dan atau mengajukan kawasan hutan produksi menjadi kawasan hutan yang dikelola masyarakat, kepada Menteri Kehutanan melalui Bupati Pasaman Barat. Jika pengurusannya sudah selesai Dinas Kehutanan menawarkan program Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa dan atau Hutan Tanaman Rakyat yang dibiayai oleh pemerintah.
“DPW SPI Sumbar juga meminta Dinas Kehutanan ikut aktif mendukung perjuangan SPI Basis Simpang Tenggo dalam mendapat hak atas penguasaan tanah dan hutan tersebut,” tambah Sukardi Bendang.