BILBAO. “Tak ada feminisme, maka tidak akan ada kedaulatan pangan”. Hal ini ditegaskan dalam Majelis Perempuan Internasional Ke-5 La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) yang dilaksanakan di Basque Country, Bilbao, Spanyol, 17-18 Juli 2017. Acara ini adalah bagian dari rangkaian Konferensi ke-7 La Via Campesina (16-24 Juli 2017), yang dilaksanakan di tempat yang sama.
Zubaidah Tambunan, perempuan tani perwakilan Serikat Petani Indonesia (SPI) asal Sumatera Utara yang menghadiri acara ini menyampaikan, majelis perempuan ini membahas seluruh permasalahan yang kerap dihadapi oleh (petani) perempuan di seluruh dunia.
“Kurangnya pendidikan, kurangnya keterlibatan perempuan kurang dalam organisasi maupun pemerintahan, (petani) perempuan selalu mendapat diskriminasi baik di keluarga maupun di masyarakat, ketidakadilan dalam pengambilan keputusan, adalah permasalahan umum yang terjadi dimana-mana,” kata Zubaidah.
Zubaidah menjelaskan, (petani) perempuan juga kerap menjadi korban kriminalisasi dalam setiap konflik lahan. Padahal menurutnya petani perempuan selalu berada di garda terdepan dalam perjuangan mempertahankan lahan.
“Di Sei Kopas, Bandar Pasir Mandoge, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara contohnya, di sini perjuangan merebut dan mempertahankan lahan, kemudian berproduksi di atasnya lalu mendirikan koperasi untuk penataan ekonomi, semuanya adalah jerih payah petani-petani perempuan yang tak kenal lelah berjuang,” paparnya.
Zubaidah menambahkan, petani perempuan adalah ibu kedaulatan pangan, tanpa perempuan, tanpa feminisme, mustahil kedaulatan pangan terwujud.
“Petani perempuan berproduksi di lahannya, sementara di satu sisi ia harus membesarkan dan merawat anak-anaknya dan melayani suaminya, belum lagi mengurus kebutuhan rumah tangga sehari-hari,” tegasnya.
Sementara itu, dalam majelis ini dipaparkan sejarah gerakan feminisme di La Via Campesina. Francisca RodrĂguez, anggota Asosiasi Nasional Pedesaan dan Masyarakat Adat (ANAMURI) di Cile memaparkan, pada tahun 1992, ketika organisasi-organisasi petani — dari Amerika Tengah, Karibia, Amerika Utara, dan Eropa — pertama kali bertemu di Nikaragua dengan tujuan untuk membangun sebuah gerakan petani yang hebat, namun belum ada partisipasi perempuan di sana.
Setahun kemudian, 1993, pada Konferensi Pertama La Via Campesina di Mons, Belgia, barulah ada sebuah kelompok kecil yang membahas mengenai keterlibatan perempuan di La Via Campesina.
“Pada Konferensi ke-3 La Via Campesina di Bangalore, India, barulah terjadi kesetaraan jumlah peserta antara perempuan dan laki-laki,” kata perempuan yang akrab dipanggil Pancha ini, yang menjadi salah satu saksi dari lahirnya gerakan perempuan di La Via Campesina.
Selanjutnya, pada Kongres ke-5 La Via Campesina pada 2008 di Maputo, Mozambik, diluncurkan kampanye global bertajuk “Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan”. Kampanye ini tidak hanya menyisir kekerasan dalam rumah tangga ataupun organisasi melainkan kekerasan sistemik yang menyengsarakan kaum perempuan.
“Di Konferensi ke-6 La Via Campesina, 2013, di Jakarta, Indonesia, dihasilkan sebuah sebuah roadmap pemberdayaan perempuan pedesaan. Dan akhirnya hal tersebut semakin diperkuat lagi di konferensi ke-7 kali ini,” tutup Pancha.