JAKARTA. Terkait konflik lahan dengan PTPN VII yang berujung dengan kriminalisasi petani saat mengadakan maulid, Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Serikat Petani Indonesia Sumatera Selatan (Sumsel), bersama Dewan Pengurus Cabang (DPC) SPI Ogan Ilir, dan petani SPI Desa Betung, serta Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPI mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnasham RI) di Jakarta, kamis (07/02).
Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI Sumsel Rohman Alqolami menyatakan kedatangannya ke kantor pusat Komnasham RI di Jakarta ini untuk melaporkan konflik lahan yang terjadi pada tanggal 25 Januari 2013 di di Desa Betung, Kecamatan Lubuk Keliat, Kabupaten Ogan Ilir.
“Kami mendatangi Komnasham RI ini untuk menyampaikan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM di desa Betung, Ogan Ilir yang dilakukan oleh oknum Polres Ogan Ilir,” ungkap Rohman.
Selanjutnya perwakilan petani SPI Desa Betung menyampaikan kronologis peristiwa tersebut kepada Komisioner Komnasham Dianto Bachriadi yang menemui perwakilan SPI pada saat itu. Menanggapi hal ini Dianto menyampaikan pihaknya akan mempelajari laporan yang diberikan oleh petani SPI.
“Setelah laporan ini kami pelajari dan terbukti terjadi pelanggaran HAM, kami akan segera mengeluarkan surat rekomendasi agar oknum kepolisian menghentikan intimidasi kepada petani,” ungkapnya.
Sementara itu menurut Ketua Departemen Kajian Strategis DPP SPI Achmad Ya’kub yang ikut datang ke Komnasham, kekerasan dan kriminalisasi yang meningkat harus dipandang dari akar permasalahannya, tidak dilaksanakannya pembaruan agraria sejati menyebabkan banyak petani bukan saja tidak memiliki akses tanah, namun juga kehilangan tanah yang sebelumnya digarap.
“Pemberian akses tanah dan harus kembali mengacu pada semangat UUD 45 pasal 33 dan UUPA 60, yang memandang tanah sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan tanah untuk petani penggarap. Yang terjadi saat ini justru mudah sekali pemberian akses tanah pada pemodal besar, bahkan seringkali pada kasus perkebunan yang Hak Guna Usaha(HGU)-nya sudah habis atau bahkan tidak ber-HGU (seperti PTPN VII, Ogan Ilir) justru tidak ditindak tegas, tentu realitasnya menjadi berbeda jika rakyat kecil dan petani yang dianggap bersalah,” paparnya.
Keesokan harinya, petani SPI mendatangai Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI, dan menyerahkan berkas dan surat pengaduan atas konflik lahan di desa Betung dengan PTPN VII. Menurut penjelasan Ketua DPC SPI Ogan Ilir, PTPN VII (dulu dikenal dengan PTP XXI.XXII) telah masuk di wilayah Kab. Ogan Ilir, Sumatera Selatan sejak tahun 1982. Proses pelepasan tanahnya juga banyak melalui proses intimidasi. Dan penganiayaan untuk memaksa pelepasan tanah, pada kasus di Desa Rengas bahkan hanya diganti Rp 150.000 per Ha.
Saat ini lahan PTPN VII di rayon VI meliputi lima desa (Rengas, Betung, Lubuk Keliat, Sonor, Lubuk Bandung) dan tiga kecamatan.
Pada tahun 2009 telah terjadi proses intimidasi dan penembakan oleh aparat terhadap masyarakat Desa Rengas dan Lubuk Bandung yang mengakibatkan setidaknya 14 orang tertembak dan dua orang dikriminalisasi sepanjang proses pelepasan tanah mereka oleh PTPN VII.
Pada 29 desember 2009, secara tertulis Drs Suhaily selaku kepala BPN Kanwil Sumsel menyatakan bahwa areal PTPN VII tidak ada HGU, artinya selama 29 tahun PTPN VII melakukan operasi secara ilegal dan merugikan negara.
Fakta di lapangan PTPN VII menguasai lebih dari 20.000 ha, sedangkan HGU-nya hanya seluas 6500 Ha. Pada tahun 2012, desa-desa lain mulai ikut memperjuangkan lahannya kembali, konflik yang kembali mencuat tersebut menyebabkan meninggalnya Angga (9 th) akibat tertembak peluru Brimob.
ini kasus yang advokasi SPI, apa WALHI to, membawa kasus yang sama nama korban sama tapi kerja sendiri-sendiri. Sebaiknya duduk bersama biar gak bingung kita.