RIO DE JANEIRO. Konferensi PBB tentang Pembangunan yang Berkelanjutan (United Nation Conference on Sustainable Development-UNCSD) di Rio De Janeiro, Brasil, telah dimulai kemarin. Konferensi yang lebih akrab dikenal dengan sebutan Rio +20 ini sejatinya harus menghasilkan keputusan yang merumuskan kembali model pembangunan ekonomi yang diharapkan dapat menjamin keberlanjutan sumber daya alam.
Dalam Rio +20 ini diperkenalkanlah sebuah model ekonomi yang disebut green economy. Serikat Petani Indonesia (SPI) yang tergabung dalam La Via Campesina (gerakan petani internasional), bersama ratusan gerakan masyarakat sosial menolak keras konsep green economy ini.
Salah satu bentuk penerapan green economy yang paling nyata adalah REDD (Reducing Emissions through Deforestation and Forest Degradation/Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan). Pelaksanaan REDD dilakukan dengan mengukur kapasitas alami dari hutan dalam menyerap dan menyimpan karbondioksida, yang kemudian diperdagangkan di sejumlah pasar karbon seperti Kyoto Carbon Market dan Chicago Climate Exchange. REDD memungkinkan negara-negara industri untuk mengalihkan tanggung jawab pengurangan emisi karbon di dalam negeri ke negara-negara dengan areal hutan yang luas seperti Indonesia.
Pada kenyataannya proyek ini telah menggusur masyarakat sekitar hutan dari sumber penghidupan mereka sehari-hari. Ketika perusahaan mengambil alih lahan tersebut, petani dan masyarakat adat diusir keluar dari tanah mereka. Mereka mengalami intimidasi, penangkapan dan diinterogasi secara paksa. Petani dan masyarakat adat dipaksa untuk menanda tangani perjanjian yang menyatakan bahwa mereka setuju untuk meninggalkan tempat itu dan tidak pernah kembali lagi.
Henry Saragih, Koordinator Umum La Via Campesina, yang mewakili jutaan petani sedunia mengungkapkan bahwa green economy yang dibangun dalam sistem ekonomi kapitalis tidak akan menjawab permasalahan lingkungan dan ekonomi yang dihadapi dunia saat ini. Hal ini justru akan membuat barang publik seperti air, tanah, dan udara menjadi barang privat yang bernilai ekonomi, dan berpotensi menyingkirkan jutaan manusia yang selama ini menggantungkan hidupnya dari alam.
“Jasa layanan alam dan sumberdaya hayati yang selama ini tersedia secara bebas menjadi barang ekonomi bernilai tinggi yang bisa dipastikan hanya menguntungkan sekelompok kecil manusia,” ungkap Henry yang juga Ketua Umum SPI pada saat pembukaan konferensi UNCSD, di Rio De Janeiro, kemarin (20/06).
Dalam konferensi yang dibuka oleh Sekjen PBB, Ban Ki Moon, dan dihadiri oleh 120 kepala negara (termasuk Indonesia) ini, Henry menegaskan bahwa green economy mendorong apa yang disebut efisiensi sektor pertanian melalui perluasan ke arah industrialisasi pertanian skala luas, privatisasi air dan pengembangan benih atau tanaman transgenik yang tahan perubahan iklim, banjir dan kekeringan. Model ini melanggengkan praktek pertanian ala revolusi hijau yang telah terbukti gagal untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pangan sekaligus merusak lingkungan.
“Oleh karena itu dari sisi pertanian, kami petani kecil dari seluruh dunia yang tergabung dalam La Via Campesina mempunyai alternatifnya, dengan berpegang teguh pada pertanian agroekologi, pertanian kecil berbasiskan keluarga. Memperluas praktek pertanian agroekologi dan membangun pasar lokal adalah salah satu langkah strategis jika sungguh-sungguh ingin membangun sistem ekonomi yang meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan manusia, sekaligus secara signifikan mengurangi kerusakan lingkungan dan kelangkaan sumberdaya alam,” paparnya.
Sementara itu sekitar 60 ribu massa yang terdiri atas petani kecil, buruh, nelayan, masyarakat perkotaan korban penggusuran, perempuan hingga kini tetap melakukan aksi menolak green economy dan Rio + 20. Aksi yang berhasil menutupi jalan di Rio De Janeiro, Brazil ini akan tetap digelar bersama kegiatan-kegiatan alternatif lain seperti diskusi, workshop yang tetap bertujuan menolak green economy.