KARNATAKA. Di tengah pergulatan perusahaan-perusahaan pertanian transnasional untuk semakin menguasai dunia pertanian dan petani, di India hadir sebuah sistem pertanian yang menjadi alternatif menghalau itu semua. Zero Budget Natural Farming (ZBNF) namanya.
Adalah Subash Palekar, pencetus ZBNF yang tak kenal lelah mempromosikan sistem pertanian ini di seluruh India.
“ZBNF adalah filosofi, menolak pertanian kimia yang diwariskan oleh revolusi hijau dan (istilah) pertanian organik yang semakin dikooptasi oleh perusahaan-perusahaan pertanian,” kata pria asal Amravati, Maharashtra, India ini.
Tingkat bunuh diri petani di India cukup tinggi. 10 tahun terakhir saja sudah lebih 300.000 petani yang bunuh diri; di Negara Bagian Karnataka April – Mei 2015 sudah 60 orang bunuh diri. Penyebabnya adalah para petani tersebut terlilit hutang yang sangat besar karena membeli input-input pertanian dari kimia yang mahal, namun gagal panen dan hasil produksinya tidak mampu mencukupi modal. Akibatnya si petani tidak mampu bayar, dipermalukan di desanya, frustasi, kemudian bunuh diri.
“ZBNF hadir sebagai solusi. ZBNF ingin melawan sistem global yang sangat menyengsarakan petani, tapi di ZBNF kita tidak “menyalahkan” perusahaan-perusahaan agribisnis transnasional tersebut; kita petani sendirilah yang seharusnya jangan pernah mau menggunakan produk-produk input pertanian dari mereka,” papar Subash berfilosofi.
Disebut ZBNF karena praktek pertanian ini berusaha meminimalkan penggunaan biaya, yang biasanya berasal dari pupuk kimia, pestisida, benih GMO, upah, dan lainnya.
“Semua yang dipakai dalam ZBNF ini ada di sekitar kita petani. Itulah mengapa namanya “zero budget” (tanpa biaya)”, ujarnya.
Jiwambrita, Intercrop, Mulching & Humus
Dalam praktek ZBNF, selain menolak penggunaan input kimia, juga memaksimalkan semua yang ada di sekitar lingkungan untuk dimaksimalkan dalam lahan.
“ZBNF berusaha memaksimalkan kandungan humus dalam tanah sehingga produksi bisa maksimal,” kata Subash.
Untuk itu ada beberapa hal mendasar yang harus dilaksanakan dalam praktek ZBNF. Pertama adalah harus menanam tanaman silang (intercrop) dalam satu lahan, seperti komposisi antara kelapa, pinang, pisang, kacang-kacangan, glisirida (kihujan), marigold (sejenis bunga yang berwarna oranye), drumstick (sejenis petai cina), (dan kombinasi intercrop lainnya) yang masing-masing tanaman saling mendukung satu sama lain untuk membuat kandungan humus di dalam tanah meningkatkan.
Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah proses mulching, proses penyebaran sisa-sisa tanaman (seperti dedaunannya, jerami, ranting-ranting) dengan meletakkannya di atas permukaan lahan.
“Asumsi yang mengatakan kalau tanaman harus mengambil nutrisi dengan dikubur ke dalam tanah adalah salah, cukup ditebar saja di atas lahan di antara dua jenis tumbuhan, dan ditambahkan jiwambrita,” jelasnya.
Jiwambrita adalah ramuan yang berfungsi untuk mempercepat proses pembusukan (dekomposisi) dari sisa tanaman yang sudah di-mulching dan juga mampu meningkatkan humus di tanah. Jiwambrita terdiri atas campuran kotoran sapi (harus sapi lokal), urin sapi, glisirida, jaeggery (bentuknya mirip dengan gula merah atau gula aren, tapi ini berasal dari tebu), dan lainnya.
“Jangan pernah pakai kotoran sapi yang bukan dari breeding lokal, karena jiwambrita tidak akan berfungsi,” katanya.
Palekar selanjutnya menerangkan, ZBNF bukanlah pertanian malas, yang membiarkan begitu saja lahan setelah ditanami. ZBNF harus dilaksanakan dengan teliti dan seksama, dan setidaknya dilakukan pengontrolan setiap harinya.
“Hasil menunjukkan banyak petani di India yang sukses setelah teliti menerapkan sistem ini. Hasil panennya bertambah dua kali lipat, ia terbebas dari hutang, menjaga alam dan lingkungan, dan membantu mendinginkan bumi yang semakin panas,” tegasnya. (tentang metode dan praktek ZBNF selanjutnya bisa dilihat di sini)
Sejalan dengan Prinsip Agroekologi
Pandi, pemuda tani SPI asal Ciampea, Bogor, yang mengikuti workshop ZBNF selama 7 hari (29 Oktober – 4 November 20150 di sekolah agroekologi La Via Campesina regional Asia Selatan di Amirthabhoomi, Chamarajangar, Karnataka, India menyatakan, praktek ZBNF tidak jauh beda dengan sistem pertanian yang sudah dijalankannya bertahun-tahun.
“Sebenarnya semua yang diajarkan oleh Pak Subash Palekar ini telah saya praktekkan di lahan saya yang kecil (3.000 m2) di Bogor, sesuai dengan prinsip agroekologi. Dalam satu petak lahan saya menanam beragam tanaman seperti cesim, kangkung, bayam, tomat, terong, kemangi, dan lainnya,” imbuh Pandi.
“Ramuan jiwambrita dari Pak Subash juga sudah buat, tapi yah memang komposisinya tidak semuanya sama,” kata Pandi lagi.
Pandi menggarisbawahi, filosofi dan pola pikir dari Subash yang membuatnya kagum terhadap pria yang memiliki dua putra ini.
“Saya akan coba mereplikasi semua ilmu-ilmu dan teknik pertanian dari Pak Subash dan mencoba menerapkannya sesuai dengan kondisi pertanian di desa saya,” katanya.
Hal senada disampaikan Ali Fahmi, Ketua Departemen Penguatan Organisasi Badan Pengurus Pusat (BPP) SPI. Ia mengapresiasi filosofi ZBNF dari Subash Palekar yang mampu mengajak ratusan ribu petani di India untuk pindah dari pertanian berbasiskan input kimia menjadi pertanian ramah lingkungan ala ZBNF.
“Subash juga mempromosikan konsep kedaulatan pangan yang berawal dari mencukupi kebutuhan pangan keluarga sendiri lalu kebutuhan pangan di desa atau lingkungan sekitar. Kita dari SPI mengapresiasi hal ini,” tutur Ali yang juga turut hadir di Karnataka, India.
Yudhvir Singh, anggota Komite Koordinasi Internasional La Via Campesina regional Asia Selatan menyampaikan, La Via Campesina melihat ZBNF sebagai sebuah alternatif dan tetap berada di bawah kerangka agroekologi, prinsip pertanian yang menjadi pilar La Via Campesina.
“La Via Campesina mendukung ZBNF dan akan bekerjasama dengan Subash Palekar untuk melaksanakan workshop-workshop seperti ini, khususnya di negara-negara Asia Selatan,” tutupnya.