Aksi menentang solusi palsu perubahan iklim di depan kantor Uni Eropa

Aksi menentang solusi palsu perubahan iklimJAKARTA. Serikat Petani Indonesia (SPI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Anti Utang (KAU), dan Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI) mengadakan aksi di depan kantor Uni Eropa, Intiland Tower, Jakarta, Rabu ( 25/11 ). Dalam aksinya mereka menyerukan negara Annex 1 harus menunjukkan keseriusan dalam merubah pola wasteful consumption menjadi pola konsumsi yang mempertimbangkan daya dukung ekologis.

Aksi ini juga menyerukan negara Uni Eropa dan Annex 1 perlu menterjemahkan secara benar makna penggunaan energi bersih yaitu bukan agrofuel, bukan nuklir, dan bukan dengan transfer teknologi. Akan tetapi mengalokasikan dana bantuan bukan utang dan pengetahuan untuk negara berkembang mengembangkan energi matahari dan angin.

Aksi diikuti sekitar 20 orang, mereka berjalan beriringan menuju depan kantor Uni Eropa membawa berbagai perlengkapan aksi. Beberapa peserta aksi menggunakan topeng kepala negara Uni Eropa dan Annex I. Aksi ini merupakaan rangkaian aksi menghitung mundur 10 hari menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) ke-15 di Kopenhagen, Denmark, 7-18 Desember 2009.

Selain itu, mereka melakukan aksi teaterikal menggambarkan rakyat nenuntut negara-negara Uni Eropa dan Annex I dengan cara mengikatkatkan tali ke tubuh kepala negara tersebut untuk menandatangani tuntutan rakyat yang intinya dalam mengambil keputusan tidak mengesampingkan kepentingan negara berkembang.

Dalam kesempatan yang sama, Uni Eropa menerima perwakilan SPI, WALHI, LS-ADI, KAU, untuk merundingkan apa yang akan mereka sampaikan dalam aksinya. Dalam pertemuan tersebut, Erik Habers yang merupakan Kepala Operasi Uni Eropa memberi keterangan bahwa “Uni Eropa tidak bisa menangani tuntutan yang disampaikan itu secara sendiri, negara Uni Eropa memerlukan bantuan dari negara lain terkait masalah pencemaran udara dan penanggulangannya,”ungkap Erik.

Elisha Kartini, Staf Kajian Strategi SPI menyayangkan hal yang disampaikan Erik Harbers, karena hal tersebut akan  akan memperburuk kondisi negara berkembang seperti Indonesia. “Ditengah krisis iklim yang dihadapi selain target penurunan emisi Uni Eropa tersebut tidak cukup kuat dan membantu penyelamatan iklim dunia, dukungan untuk mengembangkan agrofuel akan semakin memperparah perampasan tanah dan alih fungsi tanah demi kepentingan korporasi. Dukungan untuk pengembangan agrofuel juga meningkatkan konflik antara petani dan pihak perkebunan-perkebunan besar, yang hingga tahun 2008, tercatat telah terjadi lebih dari 500 konflik dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia,”ujar Kartini dalam kesempatan orasinya.

Selain itu, Teguh Surya dari WALHI mengatakan “Jangan sampai pertemuan yang dihadiri 200 delegasi yang dikirim pemerintah Indonesia, untuk mengikuti konferensi perubahan iklim hanya membawa kepentingan-kepentingan negara maju, dengan mengesampingkan kepentingan rakyatnya sendiri. Harus ada keinginan politik yang kuat bagi pemerintah Indonesia menyikapi masalah perubahan iklim yang berdampak besar bagi petani, nelayan, dan masyarakat Indonesia umumnya serta para delegasi seharusnya menyadari uang untuk membiayai keberangkatan mereka adalah uang rakyat Indonesia,”tutur dia.

ARTIKEL TERKAIT
Deklarasi Rakyat: Membangun Regionalisme yang Berdaulat, Bongkar dan Lawan Dominasi Kapitalisme Global Deklarasi Rakyat: Membangun Regionalisme yang Berdaulat, Bon...
Catatan Akhir Tahun 2011 SPI: Tahun Korporasi Besar Dan Peng...
Hari Pangan Sedunia 2014: Menempatkan Kembali Pertanian Keluarga Sebagai Kekuatan Utama dalam Penegakan Kedaulatan Pangan Hari Pangan Sedunia 2014: Menempatkan Kembali Pertanian Kelu...
Aksi damai menentang WTO disusupi perusuh, petani tetap memi...
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU