BATANGHARI. 700-an massa petani anggota Dewan Pengurus Wilayh (DPW) Serikat Petani Indonesia (SPI) Jambi menggelar aksi menuntut penghentian kriminalisasi terhadap perjuangan petani di Batang Hari, Jambi, kemarin (01/08). Bersama dengan CAPPA, Front Mahasiswa Nasional (FMN), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), SETARA, dan Perkumpulan Hijau (PH), ratusan massa SPI berkumpul di lapangan Garuda Batang Hari dan melakukan long march ke kantor Dinas Kehutanan (Dishut) Kabupaten Jambi.
Perwakilan massa aksi diterima oleh Dishut Batang Hari. Dalam dialog dengan perwakilan Dishut tersebut, Sarwadi Sukiman, Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) Jambi menyampaikan agar Dishut bertanggung jawab terhadap penangkapan Mad Dedi dan Jhon SP Nadeak. Mereka ditangkap oleh Polres Batang Hari saat keduanya memenuhi undangan dari Dishut Batang Hari dalam rangka pembahasan tentang langkah penyelesaian konflik agraria antara petani anggota SPI dengan PT. REKI
“Kami meminta Dishut menegur keras PT. REKI yang tidak menghormati upaya penyelesaian yang sedang dibangun dan mereka (PT. REKI) malah melakukan tindakan peremanisasi yang mengarah pada konflik horizontal antar kelompok masyarakat. Kami juga meminta Dishut memberikan pertimbangan kepada pihak Polres dalam upaya pembebasan atau penangguhan penahanan terhadap 2 orang anggota SPI,” ungkap Sarwadi.
Sayangnya, Kepala Dinas Kehutanan Batang Hari tidak berada ada di tempat, sementara perwakilan Dishut yang menemui SPI tidak memiliki wewenang untuk memutuskan SPI. Oleh karena itu, perwakilan massa aksi berinisiatif untuk menghentikan pertemuan, sambil menunggu keputusan yang akan dikomunikasikan kepada Kepala Dinas Kehutanan.
Agus Ruli Ardiansyah, Ketua Departemen Politik Hukum dan Keamanan SPI yang turut hadir dalam aksi ini menyampaikan pendekatan hukum yang menjurus kekerasan dan premanisasi masih selalu digunakan. Hal ini cenderung memunculkan konflik horizontal antar kelompok masyarakat, sehingga upaya-upaya penyelesaian yang sedang dilakukan menjadi terhambat dan berlarut-larut, pada akhirnya mengakibatkan petani selalu menjadi pihak yang dirugikan.
“Oleh karena itu kami mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan konflik agraria di Jambi dengan membentuk tim penyelesaian konflik agraria yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan sosial bagi rakyat Indonesia,” ungkapnya.
Agus Ruli juga mengemukakan, pemerintah harus melaksanakan Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sebagai undang-undang yang sangat sentral dalam pelaksanaan pembaruan agraria dalam rangka mengimplementasikan konstitusi Indonesia pasal 33 UUD 1945.
“Pembaruan agraria sejati berdasarkan UUPA no.5 Tahun 1960 yang sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 harus segera dilaksanakan di Indonesia ini agar konflik-konflik agraria dapat selesai dan tidak menimbulkan konflik baru,” tuturnya.
Hingga pukul 15.00 WIB, Dishut Batang Hari masih belum memberikan kepastian dan kejelasan terhadap tuntutan pembebasan dua orang petani anggota SPI tersebut. Oleh karena itu, massa aksi memutuskan untuk melanjutkan aksi dan melakukan long march sejauh 3 km ke kantor Polres Batang Hari.
Di Polres Batang Hari, massa aksi diterima oleh Kasat Reskrim. Mengenai penangguhan penanganan dua orang petani SPI, pihak Polres akan memproses permohonan masalah tersebut selama tiga hari. Namun, perwakilan massa SPI menganggap waktu selama tiga hari terlalu lama.
“Kami meminta Kapolres Batang Hari untuk melakukan upaya kongkrit sesegera mungkin, seperti memanggil pihak PT. REKI untuk dipertemukan dengan SPI dalam mengusahakan permohonan penangguhan penahanan. Jika tidak kami rela menginap disini,” ungkap Azhari, Ketua Badan Pelaksana Cabang (BPC) SPI Batang Hari, yang juga bertindak sebagai Koordinator Lapangan aksi kali ini.
Pihak Polres kemudian meminta perwakilan lima orang masa aksi SPI untuk kembali melakukan negosiasi langsung dengan Kapolres. Akhirnya tercapai kesepakatan bahwa Kapolres akan mengundang PT. REKI dengan menghadirkan pihak pelapor untuk dipertemukan dengan pihak SPI pada sore hari ini, 2 Agustus 2012, dengan syarat masa aksi tidak melakukan aksi menginap.
Ironi memang kehidupan petani ibarat ayam mati dalam lumbung. Petani sudahlah pendidikan minim, miskin lagi, sehingga gampang ditakut-takuti dan intimidasi. Sekarang kami menghadapi PT.Borneo Karya Cipta lahan sudah lama tidak diurus. Ijin lokasi keluat tahun 1983, HGU keluar tahun 1996 jika dilihat kondisi kebun sawit yang ditanam diperkirakan baru tanam tahun 2004 jadi sejak tahun 1983 hingga 2004 apa saja yang dilakukan perusahaan itu ? Nah ketika tanahnya diusahai petani eh…malah diminta diganti rugi. Suka dia saja kan ?
jika petani harus dan terus tertindas, akan kemana bangsa ini, bukankah hal yang begitu memilukan sebagai wajah negri ini, dimana lapangan kerja begitu sulit, petani harus ditindas oleh kaum bermodal dan ketidak berpihakan pemerintah terhadap rakyat berekonomi lemah. tidakkah pemerintah inginkan rakyatnya mampu makan tanpa harus menerima BLSM? adakah pemerintah tutup mata melihat petani yang harus peras keringat hanya sekedar untuk mampu menyambung hidup bila dibanding mereka yang hanya duduk di kursi pesakitan karena kasus korupsi namun untuk makan dan bahagia mereka tidak perlu khawatir? hal yang begitu ironis bila kita menilik hukum yang tidak berpihak kepada rakyat, masyarakat yang berjuang dengan bertani untuk makan di obok-obok, sedangkan mereka yang berjuang dengan korupsi untuk kaya, malah tidak di hiraukan.
pemerintah diharapka menilik kembali tahun 1984, 1985. FAO bukanlah memandang presiden pada masa itu, namun memandang pencapaian yang diperolehnya. berkacalah….
Petani harus tetap berjuang agar tidak di tindas sewena2 oleh pihak bermodal….selamat berjuang spi ,,,..agar hukum adil tanpa uang………….!???
mudah2an,membatu
petani pihak yang paling mudah untuk ditindas
Mengapa harus petani yg hrs dan trus di tertindas. Tolong kami pak polisi. Hentikan kekerasan dan kriminalisasi petani. Kpd Siapa petani meminta perlindungan. Pak polisi harusnya brsikap mandiri. Dan tidak memihak golongan pemodal.