JAKARTA. Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama Lingkar Studi Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI), di depan Kantor Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri), Jakarta, Senin (7/12). Dalam aksinya mereka menuntut diadilinya aparat yang melakukan penembakan terhadap 20 petani di Ogan Ilir Sumatra Selatan, Jumat (4/12).
Peserta aksi berjalan beriringan menuju depan Kantor Mabes Polri dengan membentangkan spanduk bertuliskan “Periksa dan adili polisi pelaku penembakan petani di Ogan Ilir Sumsel”. Selain itu peserta aksi menggunakan caping sebagai penutup kepala.
Menurut Muhammad Rizal Siregar, Staf Departemen Politik dan Hukum SPI mengatakan “Tindakan penggusuran, penyerangan, intimidasi, dan penembakan yang dilakukan aparat Brimob setempat sangatlah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), dan bertentangan dengan visi misi yang dimiliki kepolisian, sebagai aparatur negara berkewajiban melindungi rakyatnya, bukan berpihak kepada pemilik modal,” ungkap Rizal.
Lebih lanjut, Achmad Ya’kub, Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional SPI mengungkapkan “Petani Ogan Ilir Sumsel menempati lahan tersebut berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) RI tahun 1996 seluas 40 hektare lahan masyarakat dinyatakan sah milik petani. Dengan dasar inilah petani menggarap lahan tersebut,” kata Ya’kub. “Pihak kepolisian dan PT. PN VII telah melakukan perbuatan melawan hukum, karena mereka merusak dan masuk ke lahan milik petani yang dilindungi Undang-Undang,” tegasnya.
Selain itu para peserta Aksi mendesak KAPOLRI segera mengintruksikan Kapolda Sumatera Selatan untuk segera menangkap dan mengadili aparat Brimob yang terlibat penembakan dan tindak kekerasan terhadap petani, pimpinan dan satgas PT. PN VII untuk mempertanggungjawabkan tindakan pembongkaran dan kekerasan terhadap petani.
Demikian juga atas tindakan tidak mengindahkan keputusan MA yang memastikan eksekusi lahan seluas 40 ha adalah milik petani. Serta kepada seluruh jajaran kepolisian agar dalam penyelesaian kasus ini tidak menggunakan tindak kekerasan dan mengedepankan tanah untuk petani sesuai mandat UUPA 1960.
Pada kesempatan yang sama Ya’kub mengungkapkan harus ada tindakan sistematis dalam menangani konflik agraria yang terjadi di Indoesia. Konflik agraria di Indonesia ini tidak pertama kali terjadi, sebelumnya telah banyak konflik yang berujung penembakan terhadap petani antara lain, kasus Tanah Awu di Nusa Tenggara Barat (NTB), Alas Tlogo Jawa Timur, Sosa Tapanuli Utara Sumsel, dan daerah konflik agraria selalu petani yang menjadi korban dalam konflik agraria tersebut.
“Dalam kasus sengketa lahan, polisi diharapkan mampu bersikap mandiri dan tidak memihak kepada golongan pemodal, sesuai dengan visi dan misi POLRI. Hal ini penting untuk menghentikan kekerasan dan kriminalisasi petani,” ungkap Ya’kub disela-sela orasinya.