JENEWA. Dewan HAM PBB menutup sesi ke-21 di Jenewa, Swiss dengan merilis resolusi mengenai promosi hak asasi petani (28/09).
Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) menyampaikan, setelah bertahun-tahun berjuang inisiatif dari SPI (anggota La Via Campesina, gerakan petani internasional) akhirnya berhasil meyakinkan sebagian besar negara anggota Dewan HAM PBB.
“Ada kebutuhan mutlak untuk instrumen internasional HAM baru yang khusus melindungi hak asasi manusia,” ungkap Henry yang juga Koordinator Umum La Via Campesina.
Dewan Hak Asasi Manusia memutuskan resolusi atas dasar 80 persen dari orang yang menderita kelaparan ada di pedesaan dan 50 persennya adalah kaum tani. Petani juga secara historis menderita diskriminasi dan pelanggaran hak asasi yang khas. Melihat pelanggaran hak atas tanah dan teritori, di mana petani dan masyarakat adat digusur, terutama pada kasus perampasan tanah (land grabbing) yang mengemuka dewasa ini.
Menurut Muhammad Ikhwan, Ketua Departemen Luar Negeri Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPI yang hadir langsung di Jenewa, dalam resolusi bernomor A/HRC/21/L.23 itu, Dewan HAM memutuskan untuk membentuk kelompok kerja antarpemerintah untuk menyiapkan rancangan deklarasi hak asasi petani.
“Deklarasi ini akan diformulasikan berdasarkan atas dokumen studi final Komite Penasihat Dewan HAM yang dirilis pada Maret 2012 lalu. Dokumen ini adalah kelanjutan dari Deklarasi Hak Asasi Petani, Laki-Laki dan Perempuan—hasil dari Konferensi Internasional Hak Asasi Petani di Jakarta pada tahun 2008,” paparnya di Jenewa, Swiss.
Sementara itu, respon positif datang dari negara-negara berkembang, seperti Kuba dan Thailand. Indonesia dan negara Asia lain mendukung resolusi ini. Hasil voting untuk resolusi ini adalah 23 ya, 15 abstain dan 9 tidak.
Suara negatif datang dari sejumlah negara mewakili Uni Eropa (Austria, Belgia, Republik Ceko, Hungaria, Polandia, Rumania, Spanyol, Italia) dan Amerika Serikat.
Hal ini membuktikan bahwa promosi dan perlindungan hak asasi petani di tingkat internasional masih butuh perhatian ekstra. Permasalahan datang mengenai istilah “petani” di beberapa negara—ada yang menganggap penyebutan “petani” tidak mewakili hak kolektif baru, atau istilahnya yang berkesan merendahkan.
Masalah selanjutnya adalah prosedur resolusi, serta implikasi anggaran pada usulan ini. Beberapa negara Eropa dan terutama Amerika Serikat memang berada di bawah tekanan lobi yang kuat dari petani besar dan perusahaan agrobisnis.
Sementara, suara abstain datang dari negara-negara Afrika dan Arab.
Mayoritas dan kemenangan voting menunjukkan pentingnya hak asasi petani di dunia internasional. Langkah petani semakin dekat dalam pengakuan hak-hak fundamental mereka seperti hak atas tanah, atas lingkungan, dalam menentukan harga, atas pengetahuan tradisional pertanian, serta akses terhadap keadilan.
Henry Saragih menambahkan, pencapaian ini juga adalah catatan tersendiri bagi SPI karena usulan hak asasi petani ini datang dari anggota dan basis SPI sejak tahun 2000 melalui berbagai konferensi dan konsultasi—terutama Konferensi tentang Pembaruan Agraria dan Hak Asasi Petani yang dilangsungkan di Cibubur pada tahun 2001.
“Perjuangan terus berlanjut, selamat untuk petani di Indonesia dan di seluruh dunia,” tambahnya.
Kontak Lebih Lanjut:
Henry Saragih, Ketua Umum SPI, 0811 655 668
Agus Rully Ardiansyah, Ketua Departemen Polhukam DPP SPI, 0878 2127 2339
Muhammad Ikhwan, Ketua Departemen Luar Negeri SPI, 081932099596