Food Estate, ancaman bagi pertanian berkelanjutan

KOLOMBO. Multi krisis yang terjadi secara global telah menyentakkan dunia. Dimulai dengan terjadi krisis pangan yang selanjutnya bergerak ke arah krisis energi, krisis perubahan iklim dan terakhir adalah krisis ekonomi. Krisis ekonomi tersebut malah dimulai dari sebuah negara adidaya seperti Amerika Serikat. Dimana sebelumnya bagi sebagian banyak orang di dunia, Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi adalah sesuatu yang jauh dari masuk akal. Krisis yang secara bertubi-tubi sejak tahun 2006 telah melahirkan momentum untuk sebuah perubahan dari mainstream yang ada selama ini.

Jika kita tilik lebih jauh tentang multi krisis yang terjadi tersebut bukanlah disebabkan oleh kelangkaan atau kurangnya hasil produksi. Tapi yang terjadi adalah penguasaan sumber-sumber kehidupan atau kekayaan alam di tangan segelintir orang dan atau perusahaan-perusahaan besar tertentu dunia yang sering disebut sebagai multi national company atau trans-national company (MNC/TNC)

Khususnya dalam hal krisis pangan ternyata yang terjadi adalah krisis dalam hal harga pangan. Dengan kata lain bisa disebutkan terjadinya kenaikan harga-harga kebutuhan pangan secara global. Selanjutnya tentu muncul pertanyaan dibenak kita, Apakah benar memang krisis harga pangan sesungguhnya yang terjadi? dan mengapa hal ini bisa terjadi?

Untuk menjawab pertanyaan pertama di atas kita dapat melihat dari data Penelitian GRAIN (Spanyol) pada tahun 2008, terungkap data bahwa krisis pangan yang terjadi di dunia pada tahun 2006 telah meningkatkan tingkat keuntungan perusahaan-perusahaan agribisnis atau perusahaan yang terkait dengan perdagangan hasil produksi pertanian meningkat rata-rata hampir 100% dari tahun sebelumnya. Seperti Bunge (USA) meningkat 13 % di tahun 2008 sebesar 1,363 miliar dolar, Cargill (USA) meningkat 69 % sebesar 3,951 miliar dolar, dan Nable Group (Singapore) sebesar 117 % sebesar  436 miliar dolar. Keuntungan dari perdagangan pupuk, Potas Corp. (Canada) meningkat di tahun 2008 dibanding tahun 2007 sebesar 164 % dengan keuntungan sebesar 4,963 miliar dolar, Mosaic (USA) meningkat 430 % sebesar 2,682 miliar dolar, dan Yara (Norway) meningkat 131% sebesar 3,350 miliar dolar. Pada perdagangan bibit dan pestisida di tahun 2008 : Monsanto 120 % sebesar 2,926 miliar dolar, Syngeta 19 % sebesar 1,692 miliar dolar, Bayer 40 % sebesar 1,374 miliar dolar dan DOW 63 % sebesar 761 miliar dolar.

Hal ini bisa terjadi karena MNC/TNC tersebut menguasai sejak dari sektor hulu (baca : ladang-ladang pertanian) hingga sektor hilir (pasar hasil produksi pertanian). Satu contoh tepat untuk Indonesia adalah tentang kedelai dan Cargill. Sebagaimana kita ketahui, Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat konsumsi kedelai yang tinggi namun pada sisi produksi, tingkat produksi nasional jauh dari mencukupi kebutuhan nasional tersebut. Pada sisi lain, Cargill yang merupakan perusahaan pemilik lahan perkebunan kedelai terbesar dunia yang dipusatkan di Brasil, merupakan salah satu dari empat perusahaan yang memiliki hak impor resmi dari pemerintah Indonesia untuk memasukkan kedelai impor ke Indonesia (baca kasus penimbunan kedelai oleh Cargil di Surabaya untuk menaikkan harga kedelai, Kompas 26 Januari 2001).

Petani-petani di negara-negara yang berada Asia tenggara dan Asia Selatan selama ini tidak mengalami perbaikan ekonomi atau tetap miskin karena model pertanian yang dikembangkan justru menempatkan petani untuk mengeluarkan uang dari desa ke kota ataupun ke perusahaan. Di India misalnya biaya untuk memproduksi pertanian menjadi sangat mahal dan semua harus dibeli, keadaan menjadi sangat parah karena banyak petani yang terlilit hutang dan akhirnya tidak mampu membayar, bahkan sampai menjual lahannya dan sebagian ada yang bunuh diri.

Fenomena yang sangat kontras terjadi di Filipina, walaupun pusat penelitian padi (Institute for Rice Research Internatiinal-IRRI) berada di Filipina, tetapi justru Filipina menderita kekurangan pangan dan melakukan import beras saat ini. Keberadaan IRRI justru memusnahkan sistem pertanian rakyat yang mampu menggunakan benih lokal dan teknik pertanian tradisional. Sementara di Timor Leste setelah lepas dari invansi militer Indonenesia, sekarang sedang terjebak oleh invansi ekonomi kapital pangan dunia.

Di tengah ancaman krisis pangan di Indonesia akibat pangan dikuasai MNC/TNC, pemerintah justru meluncurkan program Food Estate, dimana pengelolaan pangan dalam skala besar diserahkan kepada perusahaan swasta lokal maupun asing yang justru akan mengancam keberlansungan petani dan pertanian organik yang sudah ada. Dalam konteks Sumatera Barat yang terkenal dengan semboyannya “Tanam nan Bapucuak,Paliaro nan Banyawo” dan Budaya Rangkiang, merupakan semangat untuk terus mempertahankan budaya pertanian kita yang sudah ada sejak turun temurun. Pertanian Berkelanjutan atau yang dikenal juga dengan pertanian organik merupakan konsep yang tepat untuk tetap dipertahankan agar peran Sumatera Barat sebagai lubung pangan di Sumatera tetap terjaga.

Pertemuan Agroekologi Asia, La Via Campesina yang telah berlangsung di Kolombo Srilangka diikuti oleh delegasi anggota La Via Campesina dari berbagai negara di Asia seperti Jepang, Korea Selatan, India, Sri Lanka, Nepal, Malaysia, Timor Leste, Indonesia, Filipina, Thailand dan delegasi dari Meksiko (negara Amerika Latin). Kegiatan ini bertujuan untuk berbagi analisis persoalan pangan dalam konteks Asia dan upaya-upaya yang telah dilakukan di tingkat nasional terutama mengenai pertanian dan corak produksi, perspektif dan visi gerakan sosial petani  dalam hal pertanian berkelanjutan berbasis keluarga sebagai jawaban atas ancaman krisis pangan. Pertanian organik harus dipandang sebagai konteks gerakan sosial kaum tani itu sendiri dalam membangun “Kedaulatan Pangannya”, serta penegakan terhadap hak asasi petani itu sendiri.

Disarikan Dari :

Pertemuan Agroekologi Asia, La Via Campesina

18-23 Mei 2010, Kolombo, Srilangka

Sukardi Bendang (Ketua BPW (Badan Pengurus Wilayah) Serikat Petani Indonesia Sumatera Barat)

ARTIKEL TERKAIT
Pemuda (Harus) Peduli Pangan
Berita Foto: Aksi Bersama 12 Januari, Menuntut Pelaksanaan Reforma Agraria Sejati Berita Foto: Aksi Bersama 12 Januari, Menuntut Pelaksanaan R...
Galeri Foto: Konsolidasi Pemuda Tani SPI Galeri Foto: Konsolidasi Pemuda Tani SPI
Petani dan UUPA 1960 (UUPA No. 5 Tahun 1960 Harus Diperjuang...
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU