JAKARTA. Krisis kedelai yang saat ini sedang menimpa Indonesia sudah sampai tahap yang mengkhawatirkan. Krisis kedelai saat ini adalah perwujudan salah arahnya kebijakan Ekonomi dan Pertanian, serta pangan di Indonesia. Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih memaparkan salah arahnya kebijakan pertanian Indonesia ini dimulai tahun 1995 ketika Indonesia ikut meratifikasi WTO. Kemudian dilanjutkan dengan ditandatanganinya letter of intent dengan IMF di tahun 1998 yang semakin memasifkan liberalisasi pada sektor pertanian dan pangan di Indonesia.
Dalam kasus kedelai, penghapusan bea masuk kedelai impor mempengaruhi turunnya produksi kedelai dalam negeri, bahkan selama 10 tahun terakhir produksi kedelai nasional tak pernah lebih dari satu juta ton. Sejak 2002 hingga 2011, produksi kedelai nasional tertinggi hanya sebesar 974.512 ton pada tahun 2010, sementara kebutuhan nasional sudah mencapai tiga juta ton per tahun.
“Berdasarkan data BPS, di tahun 1990, pada saat Indonesia belum ikut WTO dan IMF, impor kedelai kita pernah hanya sebesar 541 ton. Bandingkan dengan impor kedelai dalam tahun ini (Januari – Juli 2013) kita sudah impor 1,1 juta ton atau senilai US$ 670 juta (Rp 6,7 triliun). Ini akibat pemerintah kita terlanjur mengadopsi model ekonomi neoliberal sehingga dalam orientasi kebijakan pangannya hampir semua komoditas pangan, kecuali beras diserahkan pada mekanisme pasar,” ungkap Henry di Medan, pagi ini (05/09/2013).
Selanjutnya, Henry juga menyampaikan bagi petani menanam kedelai sejak harga impor lebih murah menyebabkan kerugian. Menurutnya pemerintah harus menetapkan harga yang adil yang menguntungkan petani kedelai nasional.
“Sejak Bulog menjadi perum kita tidak lagi memiliki lembaga yang kuat untuk menstabilkan harga pangan. Belum lagi adanya konsentrasi distribusi sejumlah komoditas pangan di tangan segelintir orang. Tidak hadirnya peran negara untuk menjadi stabilisator harga pangan membuat swasta leluasa mengendalikan tata niaga pangan. Mengembalikan fungsi negara dengan merevitalisasi bulog dengan membuka perannya menjadi lebih besar, bukan hanya untuk mengurus masalah beras saja, namun juga untuk komoditas pangan lainnya. Karena itu lebih baik membubarkan Bulog yang ada sekarang karena Bulog sekarang ini hasil pasca IMF, dan segera membentuk kelembagaan pangan yang baru yang mengacu pada UU 18/2012 tentang pangan yang mengamanatkan dibentuknya kelembagaan pangan, dan ditegakkannya kedaulatan pangan di Indonesia” papar Henry.
Henry menegaskan, langkah strategis yang perlu segera dilakukan adalah menggenjot peningkatan produksi lokal. Berproduksi kedelai harus ditingkatkan kembali dengan memastikan insentif bagi petani yang menanam kedelai. Meningkatkan luas lahan produksi dan memberikan pelatihan serta dukungan input bagi para petani kedelai. Hal ini harus ditopang dengan pembangunan infrastruktur seperti jalan, irigasi dan jembatan.yang disertai benih berkualitas, teknologi pertanian dan jaminan harga pantas bagi produsen kecil/petani.
“Jika Menteri Pertanian mengumumkan terdapat 2,1 juta hektar lahan produktif dari tujuh juta lahan terlantar yang ada hari ini mengapa lahan-lahan tersebut tidak didistribusikan kepada para petani kedelai maupun tanaman pangan lainnya untuk sungguh-sungguh kembali mencapai swasembada pangan di Indonesia dan melepaskan ketergantungan dari pangan impor,” tuturnya.
Henry menambahkan, pembaruan agraria adalah hal yang mendasar yang harus diimplementasikan sesuai mandat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 Tahun 960 dan kepastian petani mempunyai, mengelola dan menggarap lahan minimal 2 ha sesuai amanat UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Selanjutnya pemerintah Indonesia harus menghentikan segala liberalisasi pertanian. Indonesia harus keluar dari perjanjian WTO. Oleh sebab itu menurutnya, Indonesia harus menghentikan rencana sebagai tuan rumah dari penyelenggaraan ministerial meeting WTO yang akan diselenggarakan pada tanggal 3 – 6 Desember 2013.
“Kita juga harus memikirkan diversifikasi pangan sebagai alternatif, seperti kacang koro pedang yang sangat berpotensi menggantikan kedelai. Kacang koro pedang memiliki kandungan protein yang mendekati kedelai, di samping tingkat produktifitasnya yang tinggi. Tinggal memerlukan dukungan pemerintah dan lembaga penelitian untuk menghasilkan kacang koro pedang terbaik, meningkatkan produktifitasnya dan kualitasnya,” tambah Henry yang juga Koordinator La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional).
Kontak selanjutnya:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668
Achmad Ya’kub – Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional, DPP SPI – 0817 712 347