KAMPAR. Sengketa lahan ini bermula dari tanah masyarakat seluas 1.200 Ha yang terletak di Dusun II Rumah III, Desa Kota Garo, Kecamatan Tapung Hilir, Kabupaten Kampar, Riau. Tanah ini kemudian diklaim seenaknya oleh perusahaan perkebunan, walaupun belum mengantongi Hak Guna Usaha (HGU).
Masyarakat mulai bertani di lahan yang sebelumnya merupakan lahan adat tersebut sejak tahun 1997. Pada pertengahan tahun 2003, Kepala Desa Kota Garo, H. Ilyas Sayang, memberikan ceramah dalam rangka peresmian RT/RW 01/01 (sekarang RT/RW 18/05) kepada masyarakat bahwa lahan tersebut dipersilahkan untuk dipakai bertani; sedangkan untuk pengesahan surat menyurat akan diberikan oleh pemerintahan desa apabila tanaman telah menghasilkan atau berbuah.
Konflik dengan perusahaan perkebunan mulai mengemuka ketika pada tahun 2004 dilakukan pengukuran ulang sesuai hasil rekomendasi Bupati Kampar. Puncaknya pada tahun 2006, Budianto alias Aceng Naga, dengan mengatasnamakan PT RAKA menggusur 144 rumah petani dan 1 musholla. Selain menghancurkan rumah masyarakat, perusahaan juga membangun parit selebar lima meter dengan dalam 2,5 meter. Tujuannya agar masyarakat yang telah terusir tadi tidak leluasa kembali ke lahan perkebunan.
Perjuangan merebut kembali lahan tetap gencar dilakukan oleh masyarakat (baca: petani), mulai dari dengar pendapat dengan pihak DPRD, mendatangi Badan Pertanahan Nasional (BPN), hingga baru-baru ini melakukan aksi massa di kantor DPRD Kampar.
PT. Raka sendiri tidak tinggal diam menanggapi perjuangan masyarakat. Dengan menyewa pihak preman, PT. RAKA kerap mengintimidasi masyarakat. Intimidasi terakhir dilakukan PT. RAKA secara beruntun yang dimulai beberapa hari yang lalu dan mengakibatkan luka parahnya seorang petani anggota Serikat Petani Indonesia (SPI) Ranting Tapung Hilir.
Pada 27 Juli 2011, dua orang masyarakat yang lokasinya rumahnya bersebelahan dengan parit perkebunan berpapasan dengan preman sewaan PT.RAKA. Preman tersebut bersenjatakan parang dan tombak dan langsung menyerang masyarakat, karena korban berteriak minta tolong, masyarakat pun banyak yang berhamburan ke lokasi, preman pergi meninggalkan lokasi dan meninggalkan sebuah sepeda motor. Sementara itu korban terluka parah di bagian kakinya.
Pada 28 Juli 2011, masyarakat berinisiatif mengembalikan sepeda motor milik preman kepada petugas Kepolisian Sektor (Polsek) Tapung Hilir yang datang ke lokasi kejadian. Tidak lama sesudah mengembalikan sepeda motor tepatnya pada pukul 10.10 WIB, masyarakat malah kembali diserang oleh gerombolan preman bersenjata tajam. Masyarakat memilih tidak melayani dan mundur, petugas Polres yang berusaha melerai pun sama sekali tidak dihiraukan oleh geromboan tersebut. Akibatnya banyak masyarakat yang terluka akibat lemparan batu dan ketapel dari pihak preman. Kondisi beranjak kondusif sekitar pukul 17.30 WIB.
29 Juli 2011, sekitar pukul 07.20 WIB, gerombolan preman kembali menyerang masyarakat. Tercatat lima buah posko dan aula masyarakat yang berada di lahan perkebunan dibakar oleh gerombolan tersebut. Pembakaran tersebut tidak menyurutkan serangan, para preman justru semakin “bersemangat” menyerang hingga ke wilayah perkampungan dan membakar satu rumah masyarakat. Hal tersebut jelas menyulut emosi masyarakat, bentrok antara masyarakat dan preman pun tak terelakkan. Melihat kondisi yang semakin tak terkendali, masyarakat berinisiatif untuk segera melaporkannya ke Polsek Tapung Hilir. Namun sayangnya, tidak didapati seorang pun petugas piket yang berada di Polsek Tapung Hilir. Berdasarkan informasi orang di kantin polsek, masyarakat (baca: para petani) mendatangi rumah Sutarno selaku Kanit Intel Polsek Tapung Hilir untuk melaporkan kejadian tersebut.
Alhasil, seorang petani anggota SPI Ranting Tapung Hilir ditanggap pihak Polsek dengan tuduhan Pasal 170 KUHP (tentang sanksi hukum bagi para pelaku kekerasan terhadap orang atau barang di muka umum).
“Mirisnya, hingga saat ini para gerombolan preman sewaan perusahaan perkebunan yang menyerang masuk ke pemukiman kami malah masih bisa tidur dengan tenang,” ungkap Syaiful, Ketua SPI Ranting Tapung Hilir.