Masyarakat Tani dan Nelayan akan Menggugat Pasal BBM ke Mahkamah Konstitusi

Penyerahan kewenangan kepada pemerintah untuk menaikkan harga BBM dengan syarat harga minyak mentah Indonesia (ICP) mengalami kenaikan rata-rata 15 persen dari asumsi APBN-P 2012 dalam waktu enam bulan ke depan sesuai hasil keputusan DPR hari Jumat (31/3) lalu tidak menjawab keresahan masyarakat. Hal ini nampaknya justru membuat keresahan sosial ekonomi secara umum dan memastikan kenaikan BBM yang akan disertai kenaikan harga transportasi, pangan dan biaya produksi pertanian.

Di sisi lain pemerintah telah melakukan pemotongan terlebih dahulu sejumlah subsidi pertanian seperti pupuk dan benih dalam APBN 2012. Subsidi pupuk jumlahnya turun 17,6 persen atau Rp2,98 triliun menjadi Rp13,9 5 triliun. Sedangkan subsidi benih dalam APBNP 2012 turun 53,7 persen atau Rp150,4 miliar menjadi Rp129,5 triliun.

Bagi petani, kenaikan harga BBM artinya juga kenaikan biaya produksi. Bagi petani kecil setidaknya biaya produksi selain benih dan pupuk juga meliputi harga sewa tanah, sewa traktor dan pompa air demikian juga pengolahan hasil panen seperti usaha penggilingan padi dan ongkos angkut atau transportasi. Bagi petani kenaikan upah buruh tani akan menambah beban biaya produksi sebaliknya daya beli buruh tani juga semakin rendah.

Misalnya Sebuah traktor tangan berkekuatan 8.5 PK membutuhkan solar sebanyak ±18 liter/ha sekitar Rp. 81.000 untuk pengolahan lahan sampai siap tanam yang memerlukan waktu ± 18 jam. Plus pembiayaan pembelian oli yang diperkirakan akan naik juga mengikuti kenaikan BBM. Saat ini rata-rata sewa traktor Rp 500.000 per hektar plus buruh tani mencapai Rp. 650.000, diperkirakan akan naik menjadi Rp. 700.000-an. Belum lagi bagi petani penyewa, bisa dipastikan sewa tanah akan naik. Pengalaman ditahun 2008, sewa tanah di Cirebon Jawa Barat naik 100%, yaitu dari Rp. 5 juta/ha/tahun menjadi Rp. 10 juta/ha/tahun. Artinya semua kenaikan ini akan dibebankan kepada petani, seperti yang sudah terjadi sebelumnya ditahun 2008 lalu.

Bahkan baru rencana kenaikan BBM sudah memberikan dampak sosial danekonomi bagi petani diberbagai daerah. Seperti di Ponorogo petani yang ingin membeli solar dalam jumlah yang cukup besar tersebut untuk traktor dan perontok padinya harus mendapatkan surat ijin dari kepala desa. Hal ini karena dikhawatirkan bahwa petani akan menimbun bahan bakar menjelang kenaikan ini, mengingat solar dan BBM lainnya mulai sulit didapat seperti yang diungkapkan Ruslan, Ketua DPW SPI Jawa Timur. Di Jambi (bensin dan solar mencapai Rp. 8.000/liter di Merangin), Sukabumi dan lainnya harga BBM telah melonjak tajam, bahkan jauh sebelum paripurna DPR RI di gelar. Jika ditambah dengan naiknya harga pupuk dan subsidi pasca pengurangan subsidi ini bisa dibayangkan beratnya biaya produksi yang harus ditanggung petani. Skema kompensasi BBM seperti BLT atau BLSM hanya menjadi “pemanis” sementara dan tidak akan sanggup memberdayakan masyarakat miskin dan menengah kebawah.

Jadi Inpres No. 3/2012 yang menetapkan beras Rp. 6.600/kg dan Harga GKP dipetani Rp. 3.300/kg, akan tergerus akibat pengeluaran petani yang juga meningkat. Jadi terbuka sudah kedok pemerintah, bahwa menaikan HPP beras/gabah bukanlah bertujuan meningkatkan pendapatan petani. Namun hanya menyesuaikan inflasi dan dampak langsung maupun tidak langsung kepada petani akibat kenaikan BBM ini.

Dampak kenaikan BBM bagi nelayan tradisional dengan perahu di bawah 5 Gross Ton (GT) mengakibatkan biaya produksi nelayan semakin tinggi, karena sejak kenaikan BBM di tahun 2008 nelayan sudah membeli solar seharaga 5000 sampai 6000 rupiah perliternya. Seperti nelayan di Kabupaten Cirebon, Indramayu, Ciamis, dan daerah Lampung. Belum diikuti dengan naiknya harga perbekalan sembako, es balok setiap nelayan berangkat ke laut, karena nelayan harus membutuhkan 120 liter solar bagi nelayan yang berangkat 5 hari atau 10 liter solar bagi nelayan yang berangkat harian. Apalagi biaya produksi nelayan 70 % tergantung pada bahan bakar minyak, dan tidak diikuti dengan pendapatan para nelayan karena secara akses pasar selama ini selalu dimonopoli oleh pemodal (tengkulak).

Maka kenaikan BBM pada tahun ini, akan lebih menyulitkan nelayan tradisional karena beban sesungguhnya telah terjadi ditahun sebelumnya. Bahkan sekarang harga solar sudah mencapai 7500 seperti terjadi didaerah Sumatera Utara dan Lampung. Dan selama ini ketersediaan SPBN bagi nelayan lebih bisa dinikmati oleh kapal-kapal yang bertonase di atas 30 GT, sedangkan nelayan tradisional harus berhutang kepada pemodal.

Demikian juga nelayan kompensasi BLT bagi para nelayan sejak 2005 dan 2008, penenang sementara yang sangat tidak membantu bagi para nelayan tradisonal yang 95 % adalah penyumbang terbesar perikanan di Indonesia. Tetapi kenyataannya jumlah desa pesisir yang ditempati nelayan tradisonal adalah 10.600 terkatagori miskin dengan 7.8 juta jiwa orang.

Terlebih lagi Serikat Petani Indonesia (SPI) memandang menyerahkan harga BBM ke dalam mekanisme pasar merupakan suatu langkah yang inkonstitusional. Bahkan Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyampaikan hal ini jauh sebelumnya dengan membatalkan Pasal 28 Ayat (2) UU Migas No. 22/2001 bersama beberapa pasal lainnya. Pada pasal Pasal 28 Ayat (2) yang menyebutkan, harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. MK menilai, pasal ini bertentangan dengan UUD 1945 karena dalam penetapan harga bahan bakar minyak dan gas tidak diserahkan mekanisme pasar, tetapi melalui kewenangan pemerintah. Namun dalam prakteknya pemerintah tidak melaksanakan keputusan MK ini.

Lebih lanjut, SPI mencermati keuntungan yang didapat negara dalam proses liberalisasi migas di Indonesia tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat dan pembangunan di Indonesia. Untuk itu SPI menolak rencana kenaikan harga BBM yang merupakan hasil kebijakan liberalisasi, privatisasi, komersialisasi dan korporatisasi sektor energi di Indonesia. Dan juga bermaksud menggugat perubahan UU APBN tersebut yang telah dan akan terus memiskinkan rakyat Indonesia.

 

Jakarta, 3 April 2012

 

Kontak lebih lanjut:

Henry Saragih (Ketua Umum SPI)  HP: 0811655668

Achmad Ya’kub (Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional SPI) HP: 0817712347

Budi Laksana (Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia-SNI) 081319716775

Gunawan (Ketua Komite Eksekutif IHCS ) 081584745469

 

Lampiran 1:

I. Pasal 7 ayat 6 A UU tentang Perubahan UU No.22  tahun 2011 tentang APBN 2012 bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945

Dalam pasal 33 ada dua unsur yaitu hak menguasai negara dan sebesar-besar kemakmuran rakyat, artinya BBM yang merupakan hasil dari cabang produksi yang terkait dengan hajat hidup orang banyak harus di bawah penguasaan negara, bukan mekanisme harga pasar, guna melindungi tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Artinya harga bbm pertimbangan bagi pemerintah bukan pada harga minyak, tetapi pada apakah sebesar-besar kemakmuran rakyat itu terhalangi atau tidak.

II. Pasal 7 ayat 6 A UU tentang Perubahan UU No.22  tahun 2011 tentang APBN 2012 bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) UUD 1945

Jangka waktu yang dipergunakan selama 6 bulan telah mengakibatkan ketidakpastian bagi masyarakat akibat kenaikan harga yang menyertai isu kenaikan harga bbm, artinya pasal dan ayat ini mengakibatkan ketidakpastian hukum. Padahal kepastian hukum yang adil dilindungi oleh UUD 1945, ketidakadilan ini berupa rakyat menjadi korban akibat ketidakpastian harga sedangkan pasar justru menikmati ketidakpastian ini dengan menaikan harga-harga kebutuhan masyarakat

III. Pasal 7 ayat 6 A terkait dengan Kompensasi kenaikan harga BBM sebesar 30,6 Triliun  UU tentang Perubahan UU No.22  tahun 2011 tentang APBN 2012 yang bertentangan dengan pasal 28 D ayat 1 UUD 1945.

Bahwa dana kompenasasi sebesar Rp. 30, 6 triliun menimbulkan ketidakpastian hukum dengan alasan sebagai berikut:

  1. Bahwa besaran kompensasi kenaikan sebesar Rp. 30, 6 Triliun tidak mempunyai dasar dan pertimbangan yang matang
  2. Bahwa dana kompensasi sebesar Rp. 30, 6 Triliun berkaitan erat dengan pasal 7 ayat 6 A dan merupakan satu kesatuan . Yang berarti besaran dana kompensasi tergantung pada ada tidaknya kenaikan BBM. Pasal 7 ayat 6 A yang mengantungkan naik turunnya harga minyak berdasarkan harga minyak  memungkinkan harga bbm mengalami kenaikan dan penurunan. Sehingga penetapan dana kompenasasi BBM tidak logis dan menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan peruntukannya.
  3. Bahwa berdasarkan pasal 7 ayat (6) pemerintah menaikkan harga BBM mengikuti harga minyak  besaran persentase kenaikan harga di masa yang akan datang belum bisa diprediksi pada saat ini sehingga menjadi tidak logis dan tidak mempunyai dasar apabila besaran subsidi ditentukan dalam Undang-Undang ini.

Lampiran 2:

Simulasi kenaikan harga BBM terhadap beban produksi petani padi di Jawa*

No Input Produksi Biaya Saat ini Kenaikan BBM
1 Biaya traktor Rp 650.000 Rp 845.000
2 Benih Rp 160.000 Rp 176.000
3 Pupuk Rp 840.000 Rp 924.000
4 Obat-obatan Rp 1.420.000 Rp 1.846.000
5 Buruh Rp 1.470.000 Rp 1.475.000
6 Sewa Lahan Rp 5.000.000 Rp 5.500.00
Jumlah Rp 9.540.000 Rp 10.766.000
Hasil Produksi
5 ton/Ha (HPP Rp 3.300) Rp 16.500.000 Rp 16.500.000
Marjin Keuntungan turun 18 % Rp 6.960.000 Rp 5.734.000

 

* Survey dilakukan terhadap petani padi anggota Serikat Petani Indonesia di Pulau Jawa, Maret 2012, per 1 Ha, per 1 musim tanam

ARTIKEL TERKAIT
Jalan Lebar Menuju Pengesahan Deklarasi Internasional Hak As...
SPI Basis Kamang Mudiak, Sentra Organik di Agam, Sumatera Ba...
SPI Selenggarakan Munas I dan Rapat Pleno IV di Jakarta
Jalan baru atasi perubahan iklim Jalan baru atasi perubahan iklim
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU