(* Oleh: Heri Purwanto )
“Soal Agraria adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan bagi manusia. Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk ini, orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada demi mempertahankan hidup selanjutnya” (Mochamad Tauchid, 1952)
Dalam catatan sejarah nusantara, pedesaan telah menjadi arena pertarungan kekuasaan politik maupun perebutan sumber daya ekonomi. Berbagai gejolak sosial muncul dan tenggelam silih berganti, akibat perebutan kekuasaan politik dan sumber-sumber daya ekonomi. Fenomena tersebut nyaris tidak mendapatkan ruang dalam penulisan sejarah Indonesia maupun dalam kajian-kajian ilmiah. Sebagian besar perhatian kalangan praktisi maupun akademisi tertuju pada tingginya dinamika sosial, ekonomi dan politik di perkotaan sebagai pusat-pusat pertumbuhan baru yang mencerminkan kemajuan dan modernisasi. Gejolak sosial yang berlangsung di berbagai pedesaan tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan keresahan yang dialami oleh kaum tani di desa. Bentuk-bentuk perlawanan maupun protes kaum tani di pedesaan telah mengambil bentuk yang berbeda-beda, tetapi memiliki beberapa corak kesamaan yang umum.
Perhatian terhadap dinamika dan gejolak sosial di pedesaan selama ini tidak menelusuri lebih jauh terhadap peran kaum tani sebagai pelaku utama gerakan perlawanan tersebut. Pemberontakan-pemberontakan pada masa kolonial dipandang sebagai perjuangan pembebasan dibawah kepemimpinan tokoh-tokoh pahlawan nasional. Meskipun beberapa pemberontakan kaum tani terhadap kekuasaan kolonial secara nyata menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap tonggak perubahan sosial politik yang lebih luas dalam panggung sejarah nasional. Sangat sedikit perhatian kalangan sejarawan maupun peneliti yang memberikan perhatian pada peran dan keterlibatan kaum tani yang menjadi gerbong massa pemberontakan-pemberontakan tersebut.
Demikian halnya ketika gejolak sosial di pedesaan kembali marak setelah NKRI diproklamirkan. Justru di masa setelah kemerdekaan ini peran petani di pedesaan lebih massif dan berpengaruh besar terhadap corak perubahan yang berlangsung secara nasional, khususnya pada periode 1950-an hingga akhir 1960-an. Dan sayangnya, fenomena ini juga luput dari pandangan para sejarawan dan peneliti sosial untuk mencatat dan mengkaji lebih banyak peran gerakan petani terhadap perubahan sosial. Hingga kini dapat saya katakan bahwa peran penting masyarakat desa khususnya kaum tani telah sekian lama terpinggirkan dan terlupakan.
Seorang akademisi dan tokoh sejarawan nasional, Sartono Kartodirdjo, telah merintis studi terhadap peran kaum petani dalam perubahan sosial dan konstalasi politik nasional. Dalam bukunya ia mengungkapkan keprihatinannya terhadap rendahnya minat sejarawan maupun peneliti sosial yang tertarik untuk mengangkat kembali peran gerakan petani pedesaan dalam dinamika perubahan sosial.[1] Rintisan kajian gerakan petani yang dilakukan oleh Sartono dimulai pada tahun 1966, melalui riset desertasi doktoralnya di Amsterdam.Desertasinya tersebut kini menjadi karya monumental sekaligus referensi wajib bagi peneliti dan peminat kajian gerakan sosial petani. Desertasinya “The peasant revolt of Banten in 1888”, kemudian diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul “Pemberontakan petani Banten 1888: Sebuah studi kasus mengenai gerakan sosial di Indonesia”. Secara konsisten ia menekuni kajian gerakan sosial pedesaan ditandai dengan penulisan buku-buku berikutnya yang berjudul “Protest Movement in Rural Java : A Study of Agrarian Unrest in The Nineteenth early Twentieth Centuries”, serta buku “Ratu Adil” yang lebih dikenal dikalangan luas dibanding karya-karyanya yang lain.
Sartono Kartodirdjo telah merintis kajian ini sejak akhir 1960-an. Namun rintisan tersebut tidak berpengaruh besar terhadap perkembangan studi gerakan petani pada masa tersebut. Studi gerakan tani yang saya maksud merupakan pengembangan yang lebih luas terhadap teori-teori gerakan petani. Memang terdapat beberapa karya-karya dari sejarawan, sosiolog serta antropolog lainnya yang mengupas tema-tema mengenai dinamika sosial petani dan masyarakat pedesaan, namun tidak mengkhususkan kajian terhadap teori-teori gerakan sosial petani. Sebagian dari mereka melakukan kajian sebatas menjelaskan struktur-struktur sosial dalam masyarakat pedesaan, tradisi dan kebudayaan masyarakat desa serta tema lain yang tidak menyentuh perihal konflik-konflik yang memicu perlawanan petani dan berlangsungnya gerakan sosial.[2]
Sepanjang masa kekosongan kajian-kajian gerakan sosial petani dari panggung akademik, justru kajian-kajian terhadap gerakan sosial petani di Asia menjadi pusat perhataian kalangan akademisi Barat. Minat akademisi dari Amerika dan Eropa terhadap fenomena bangkitnya gejolak sosial petani pedesaan di Asia pada tahun 1960 hingga 1970-an semakin berkembang, terutama didorong oleh fenomena munculnya perlawanan radikal yang massif dari petani-petani pedesaan di Vietnam terhadap invasi militer Amerika Serikat. Eric R. Wolf, James C. Scott, serta Samuel L. Popkin merupakan akademisi Barat yang merintis minat studi gerakan sosial petani di Asia. Studi yang paling menonjol dan sering menjadi acuan untuk menganalisis dan memahami gejolak sosial di pedesaan hingga saat ini adalah studi yang dilakukan oleh Scott dan Popkin.[3] Ditengah kekosongan kajian gerakan sosial petani oleh akademisi tanah air, teori-teori yang dilahirkan Wolf, Scott dan Popkin menjadi mainstream teori gerakan sosial petani di tanah air. Meski berbagai kritik muncul atas teori-teori yang mereka rumuskan karena dalam beberapa hal dianggap tidak relevan dengan dinamika sosial, politik dan budaya dari karakter masyarakat pedesaan Indonesia, namun studi gerakan sosial petani yang genuine dengan nuansa lokalitas tidak berkembang dan hanya dilakukan oleh Sartono Kartodirdjo.
Kekhawatiran Sartono Kartodirdjo atas minimnya akademisi dan peneliti yang berminat terhadap kajian-kajian gerakan sosial petani ternyata tidak hanya pada era 1960-an saja, namun berlanjut hingga masa Orde Baru dan sesudahnya. Tema-tema kajian gerakan sosial petani yang telah dirintis oleh Sartono hanya berkembang sejenak didalam kajian akademis pada masa tersebut, kemudian menghilang sama sekali dari ranah kajian akademis di universitas-universitas sepanjang masa Orde Baru. Upaya kembali menghidupkan tema-tema kajian gerakan sosial petani pada masa Orde Baru, justru muncul dari luar universitas yang dipelopori oleh kalangan aktifis LSM. Meski kajian yang dilakukan oleh kalangan aktifis diluar kampus ditujukan untuk membangkitkan kembali apa yang telah dirintis oleh Sartono, pada kenyataannya memiliki banyak keterbatasan dan kelemahan.[4]
Menjelang akhir 1990-an, minat akademisi terhadap studi gerakan sosial petani dimunculkan kembali oleh sosiolog Hotman Siahaan. Desertasi doktoralnya yang berjudul “Pembangkangan Terselubung Petani dalam Program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi”, diselesaikannya pada tahun 1996. Dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar Teori Sosial Modern di tahun 2005, ia memilih tema pidato “Gerakan Sosial Rakyat : Ontran-ontran Demokrasi”, membahas tentang konflik sosial dan konflik politik ditengah arus desentralisasi yang mendorong munculnya gerakan sosial. [5]
Selanjutnya studi-studi mengenai gerakan sosial petani mulai menarik minat sebagian kalangan peneliti dan akademisi. Diantaranya studi yang dilakukan oleh Endang Suhendar dan Yohanda Budi [6] dari Yayasan Akatiga di tahun 1998, meneliti Kondisi dan Kebijakan Agraria, Pola dan Level Konflik Petani, Aktor-aktor yang Terlibat dan Upaya Penyelesaian Konflik Petani. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa seluruh kasus konflik petani sangat berhubungan dengan sistem politik yang berkembang pada saat itu, dan konflik ini selalu terjadi di sepanjang sejarah dimana petani berada pada posisi paling lemah baik secara ekonomi maupun politik.
Studi tentang gerakan sosial petani di Kabupaten Batang dan Pekalongan dilakukan oleh Muhammad Romdloni pada tahun 2005. Melalui tesisnya berjudul “Teologi Petani : Analisis Peran Islam dalam Radikalisme Gerakan Petani pada Forum Perjuangan Petani Nelayan Batang Pekalongan (FP2NB) di Kabupaten Batang dan Pekalongan”, menemukan bahwa latar belakang petani melakukan gerakan lebih di dasari atas aspek ekonomi, sejarah kepemilikan tanah, budaya dan agama.[7] Studi Romdloni ini diperkaya oleh penelitian yang dilakukan Hilma Safitri pada tahun 2010, yang juga melakukan studi terhadap gerakan petani di Batang dengan judul “Gerakan Politik Forum Paguyuban Petani Kabupaten Batang (FPPB)”. Jika Romdloni meneliti sebab-sebab yang mendorong lahirnya gerakan petani di Batang, Safitri melanjutkannya dengan meneliti pola dan strategi gerakan yang dilakukan oleh FP2NB.[8]
Di Malang Selatan, Wahyudi dan Mustain melakukan studi terhadap gerakan petani di Kalibakar Malang Selatan menghadapi PTPN XII. Studi yang dilakukan oleh Wahyudi pada tahun 2005 memfokuskan perhatian pada formasi dan struktur gerakan, serta jaringan-jaringan pendukung gerakan petani.[9] Studi terhadap kasus yang sama dilakukan oleh Mustain pada tahun 2007, dengan meneliti sisi yang berbeda. Melalui penelitian untuk desertasi doktoralnya berjudul “Petani vs Negara : Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara”,[10] ia menemukan bahwa gejolak dan resistensi yang dilakukan oleh petani dipicu oleh faktor ekonomi ketimpangan kepemilikan tanah. Namun dibalik faktor ekonomi tersebut, secara politik resistensi petani muncul untuk menolak kebijakan negara mengenai masalah penguasaan pertanahan yang cenderung eksploitatif dan mengutamakan pemodal.
Berbagai studi terhadap gerakan sosial petani di atas merupakan sebagian saja dari sekian banyak studi lainnya. Namun berbagai studi yang diuraikan tersebut mewakili corak keragaman studi-studi gerakan sosial di tanah air yang sangat terbatas. Penelusuran terhadap berbagai studi-studi gerakan sosial petani, harus diakui masih memiliki banyak kekurangan. Setidaknya ada tiga hal yang dapat ditemukan dari upaya penelusuran kembali terhadap ketertinggalan studi-studi gerakan sosial petani di tanah air.
Pertama, studi mengenai peran gerakan petani dalam konteks perubahan sosial yang lebih luas masih sangat minim. Jika terdapat studi-studi mengenai perlawanan petani, studi tersebut meletakkan posisi petani sebagai objek pembangunan yang pasif. Bukan sebagai aktor gerakan sosial petani yang aktif. Kondisi tersebut kemungkinan besar tidak terlepas dari peran rezim Orde Baru yang berupaya memutus mata rantai sejarah peranan gerakan sosial petani dari panggung politik maupun ranah akademik.
Kedua, terdapat periode kekosongan studi gerakan sosial petani setelah studi rintisan yang diletakkan oleh Sartono Kartodirdjo. Sehingga tidak terdapat perkembangan yang berarti atas studi-studi gerakan sosial petani. Periode kekosongan tersebut justru banyak diisi oleh para akademisi dan peneliti orientalis dari luar Indonesia. Ketika studi-studi terhadap gerakan sosial petani di Barat tumbuh pesat dan menghasilkan berbagai perdebatan-perdebatan yang kaya, di tanah air justru tidak berkembang.
Ketiga, perubahan sistem politik, ekonomi, dan perkembangan teknologi yang demikian pesat, turut memberikan pengaruh besar terhadap perubahan dinamika kehidupan petani di pedesaan. Sehingga bentuk-bentuk resistensi dan gerakan sosial petani pedesaan telah berkembang sedemikian rupa. Teori-teori mengenai gerakan sosial petani yang dikembangkan sebelumnya, kini kembali dipertanyakan dan diuji relevansinya.
Dalam dua dekade terakhir, dinamika gerakan petani dan perubahan sosial pedesaan berubah dengan pesat seiring dengan perubahan pola relasi kekuasaan ekonomi politik secara global. Persoalan yang dihadapi petani tidak lagi sama dengan sebelumnya. Pola relasi kekuasaan di pedesaan turut diramaikan dengan kehadiran perusahaan-perusahaan trans nasional yang berupaya merebut sumber-sumber ekonomi masyarakat pedesaan. Bank Dunia dan lembaga keuangan internasional lainnya turut berperan dalam menentukan arah kebijakan nasional yang berpengaruh terhadap kehidupan petani dan masyarakat pedesaan. Perubahan relasi kekuasaan tersebut menjadi tantangan baru bagi penggiat gerakan petani. Dengan demikian studi-studi tentang gerakan petani dihadapkan pada tantangan untuk mengkritisi relevansi berbagai argumentasi teoritis yang selama ini digunakan dalam memahami gerakan petani dan perubahan sosial di pedesaan.
(* Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana Ilmu Politik, Universitas Indonesia dan saat ini aktif di Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia)
[1] Ratu adil 9-11
[2] Beberapa tokoh yang ikut mewarnai tema-tema kajian masyarakat pedesaan diantaranya adalah Ong Hok Ham dan Kuntowijoyo. Meski tidak secara khusus mendalami kajian gerakan petani, keduanya turut memberikan warna dalam pengayaan studi gerakan sosial petani. Ong Hok Ham menyumbangkan studinya atas gerakan saminisme dan gerakan petani di Madiun (1975). Sementara Kuntowijoyo memperkaya kajian melalui desertasinya mengenai dinamika sosial masyarakat agraris di Madura (1980), serta esei-eseinya yang terlihat sebagai mendalami rintisan Sartono mengenai radikalisasi petani.
[3] Syaiful Bahri, : 2002. “Petani dalam Perspektif Moral Ekonomi dan Politik Ekonomi”, dalam Endang suhendar, et.al. (Peny.), Menuju Keadilan Agraria : 70 Tahun Gunawan Wiradi, Bandung: Akatiga, halaman. 162.
[4] Berbagai upaya yang dilakukan oleh kalangan aktifis diluar dunia universitas untuk menghidupkan kembali kajian-kajian gerakan sosial petani pada awal 1990-an diantaranya melalui penerbitan buku-buku, hasil-hasil yang diperoleh dari pengorganisiran di desa-desa serta seminar-seminar. Meski memiliki banyak keterbatasan, upaya tersebut dilakukan untuk mengisi kekosongan kajian gerakan sosial petani diranah intelektual yang sudah berlangsung cukup lama. Hal tersebut dapat ditelusuri dari buku-buku terbitan LSM diantaranya, Yayasan Sintesa, Yayasan Bina Desa, Insist, Elsam, dan banyak lainnya.
[5] Lihat Gerakan sosial politik rakyat : ontran-ontran demokrasi : Pidato pengukuhan, disampaikan pada pengukuhan jabatan Guru Besar dalam bidang Ilmu/Mata Kuliah Teori Sosial Modern Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Sabtu, 12 Maret 2005.
[6] Endang Suhendar dan Yohanda Budi . Kondisi dan Kebijakan Agraria, Pola dan Level Konflik Petani, Aktor-aktor yang Terlibat dan Upaya Penyelesaian Konflik Petani. Dalam Endang Suhendar (Peny.), Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Bandung: Akatiga, 2002, hal 319.
[7] Muhammad Romdloni, Teologi Petani : Analisis Peran Islam dalam Radikalisme Gerakan Petani pada Forum Perjuangan Petani Nelayan Batang Pekalongan (FP2NB) di Kabupaten Batang dan Pekalongan. Surakarta : Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2005.
[8] Lihat dalam Hilma Safitri, Gerakan Politik Forum Paguyuban Petani Kabupaten Batang (FPPB), Bandung : Yayasan Akatiga, 2010.
[9] Mengenai laporan studi yang dilakukan Wahyudi, dapat dilihat dalam bukunya “Formasi dan Struktur Gerakan Sosial Petani” yang diterbitkan oleh UMM Press pada tahun 2005.
[10] Desertasi Mustain telah diterbitkan dalam bentuk buku berjudul, Petani Versus Negara: Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2007.