NTP September 2014: Petani Pangan dan Pekebun (Masih) Merana, Petani Hortikultura (Sedikit) Tersenyum

JAKARTA. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistika (BPS), Nilai Tukar Petani (NTP) Pangan bulan September ini kembali mengalami penurunan dibanding bulan sebelumnya, yakni dari 98,04 menjadi 97,78 (lihat grafik). Menanggapi hal ini, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih kembali mempertanyakan kinerja pemerintahan SBY di akhir periodenya dalam mengendalikan harga pangan, mengingat petani juga merupakan konsumen pangan. Menurutnya, peningkatan produksi pangan tidak akan memberikan dampak yang signifikan terhadap petani produksi, ketika membiarkan pasar tidak bersahabat terhadap petani kecil.

NTP Pangan

“Isu impor beras pada bulan Agustus boleh jadi menurunkan harga pasar beras domestik. Bulog telah mengimpor beras sebanyak 50 ribu ton dari Vietnam untuk meningkatkan stok beras dalam negeri sampai dengan 7-8 bulan ke depan. Hal ini sekaligus menunjukkan ketidakmampuan kementerian dalam mewujudkan kemandirian pangan. Pada sisi lain pembaruan agraria sebagai jalan untuk mencetak sawah baru yang digarap oleh petani kecil macet total selama pemerintahan SBY,” papar Henry di Jakarta pagi ini (02/09).

Henry juga menegaskan, kembali turunnya NTP tanaman pangan dengan bertahan di bawah 100, semakin menunjukkan masa depan suram petani tanaman pangan. Hal ini juga memperkuat kecenderungan jumlah rumah tangga petani yang terpaksa meninggalkan usaha pertanian. Sebagaimana yang dilaporkan oleh BPS, bahwa selama 1 dekade 2003-2013 jumlah rumah tangga tanaman pangan menurun 0,41% ( padi), 20,4 % ( jagung), dan 31,9% (kedelai).

“Oleh karena itu tugas yang tidak ringan bagi Presiden Jokowi untuk menahan mereka agar tetap memproduksi pangan. Bila tidak, alasan untuk tetap mengimpor pangan akan semakin rasional,” tegasnya.

Sementara itu petani tanaman perkebunan juga mengalami nasib yang sama. NTP perkebunan rakyat menurun pada bulan September (102,02), setelah  mengalami kenaikan pada dua bulan sebelumnya, yakni  102,45 pada bulan Juli dan 102,29 pada bulan Juni. Khusus untuk kelapa sawit, harga sawit tidak lepas dari harga CPO global. Sebagai akibatnya turunya harga CPO tingkat global berpengaruh terhadap harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit di tingkat petani. Penurunan ini dipengaruhi oleh turunnya harga  kelapa sawit dan cengkeh, serta naikknya harga-harga konsumsi rumah tangga. Harga rata-rata TBS pada bulan Agustus di beberapa provinsi yang merupakan sentra produksi sawit berkisar antara Rp 1302 – Rp 1502 per Kg (Sumber: Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian).

“Keragaman rantai pasok sawit dapat menyebabkan harga di tingkat petani lebih rendah dari harga tersebut dan bahkan dari harga pembelian yang sudah ditetapkan. Karenanya bisa saja terjadi gap yang sangat lebar antara kesejahteraan  pelaku usaha sawit dengan petani sawit,” ungkap Henry.

NTP Kebun

Meski demikian kelapa sawit mungkin tetap akan menjadi alternatif tujuan petani non sawit. BPS menyebutkan terjadi pertumbuhan rumah tangga kelapa sawit selama 1 dekade 2003-2013, yakni sebesar 114,96% dan terjadi di Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi.

“Namun pemerintah ke depan perlu ekstra hati-hati terkait isu perubahan iklim dan konflik agraria yang terjadi di sentra-sentra perkebunan sawit,” tutur Henry.

Berbeda dengan sub-sektor tanaman pangan dan perkebunan rakyat, NTP hortikultura mengalami kenaikan dibandingkan bulan sebelumnya. Yakni sebesar 102,63 pada bulan Agustus dan 102,43 pada bulan Juli (lihat grafik). Kenaikan tersebut dipengaruhi oleh sayur-sayuran terkhusus bawang merah dan cabe merah. Indeks harga yang diterima petani utk sayur-sayuran ini lebih besar dibandingkan buah-buahan dan tanaman obat. Kenaikan ini juga menunjukkan harga cabe meningkat dibandingkan saat bulan puasa di bulan Juli. Namun kenaikan NTP tidak drastis karena pada saat yang sama terjadi kenaikan indeks harga yang harus dibayar petani untuk konsumsi rumah tangga dan biaya produksi.

“Dalam hal ini sekali lagi menjadi tantangan yang tidak ringan bagi Pemerintahan Jokowi ke depan untuk meningkatkan kesejahteraan petani hortikultura sementara pada saat yang sama petani sebagai konsumen harus berhadapan dengan kenaikan kebutuhan rumah tangga. Di samping itu, pemberlakuan pajak pertambahan nilai sebesar 10% bagi produk pertanian – terkhusus yang masih dalam kontrol petani juga menjadi hambatan dalam peningkatan kesejahteraannya, terlebih bila impor hortikultura tetap terjadi,” papar Henry.

NTP Hortikultura

Tanaman cabe merupakan tanaman yang paling diminati oleh petani hortikultura. Dari survey rumah tangga pertanian BPS ( 2014), selama kurun 1 dekade ( 2003-2013) jumlah rumah tangga petani cabe meningkat sampai 175,98 %. Sebaliknya jumlah petani bawang merah menurun hingga 31,6 % dalam satu dekade.

“Karena itu tantangan yang tidak ringan bagi Pemerintahan Jokowi untuk bisa memberikian suasana yang kondusif bagi petani-petani hortikultura, seperti manajemen waktu penanaman untuk menghindari panen bersamaan yang menyebankan harga jatuh, industri kecil pengolahan sayur mayur dan memproteksi mereka dari serbuan hortikultura impor – di bawah rezim perdagangan bebas WTO dan FTA, terkhusus ACFTA dan tahun depan masyarakat ekonomi ASEAN 2015,” tambah Henry.

 

Kontak selanjutnya:

Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668

ARTIKEL TERKAIT
Petani SPI Caringin Sukabumi Siap Pertahankan Lahan Dari (Al...
Jalan Lebar Menuju Pengesahan Deklarasi Internasional Hak As...
SPI Kutuk Pembakaran Rumah dan Lahan Petani Merangin
Misi Solidaritas SPI Dukung Perjuangan Petani Filipina
2 KOMENTAR
  1. Muhammad Habib Ichsan berkata:

    Kajian tentang artikel yang dimuat dalam: NTP September 2014: Petani Pangan dan Pekebun (Masih) Merana, Petani Hortikultura (Sedikit) Tersenyum, ini menjadi sangat penting untuk diinformasikan kepa da semua fihak yang memiliki kecenderungan terhadap Keberhasilan Program Pertanian Organik

  2. budidaya berkata:

    grafik terjun bebas, lahan pertanian juga banyak yg sudah berubah fungsi

BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU