MEDAN. Ratusan petani, buruh kebun, hingga mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa di depan hotel tempat penyelenggaraan konferensi satu abad yang dilakukan oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Peserta aksi yang terdiri dari Serikat Petani Indonesia (SPI), Walhi, Perserikatan KPS, Bakumsu, Bitra, Sawit Watch, SPKS dan lainnya. Para petani menuntut agar adanya penghentian ekspansi sawit dan pencabutan UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Serta mendesak dunia perbankan menghentikan kredit pada korporasi dalam rangka ekspansi sawit, justru yang harus dikembangkan adalah kredit perbankan untuk petani pangan. (29/03)
Investasi korporasi hanya membawa derita bagi rakyat Indonesia, kerakusan industri ekstraktif, telah mematikan DAS, merusak hutan primer, lebih dari 5.000 DAS yang berada di Kawasan Taman Nasional mati akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit. Banjir terus meningkat pengungsi setiap tahun semakin bertambah dan meluas. Sementara para pengusaha perkebunan kelapa sawit yang tergabung di dalam Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (GAPKI) hanya ingin merampas dan menguasai sumber-sumber agraria. Pemerintah telah melalaikan tugasnya untuk melindungi warga negaranya, yang seharusnya mendapatkan perlindungan yang maksimal.
Wagimin, Ketua DPW SPI Sumatera Utara dalam orasinya menyatakan bahwa korporasi sawit melahirkan konflik agraria terutama konflik lahan sebagai dampak kapitalisasi perkebunan. Konflik lahan merupakan warisan kolonial perkebunan yang hingga saat ini masih terus berlanjut melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, yang menjamin masa waktu 95 tahun bagi korporasi untuk menguasai lahan dengan tidak ada pembatasan yang jelas.
“Demikian juga banyak petani telah menjadi korban penggusuran, kekerasan, pemenjaraan bahkan penembakan hingga tewas akibat konflik dilahan perkebunan,” ungkap Wagimin.
Sementara itu, Gindo (Steering Committee konferensi alternatif satu abad sawit) mengungkapkan bahwa investasi korporasi hanya membawa derita bagi rakyat Indonesia, kerakusan industri ekstraktif, telah mematikan DAS, merusak hutan primer, lebih dari 5.000 DAS yang berada di Kawasan Taman Nasional mati akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit. Banjir terus meningkat pengungsi setiap tahun semakin bertambah dan meluas’.
Petani, buruh dan peserta aksi lainnya menuntut agar penghentian perluasan sawit dan merestrukturalisasi pengusaaan, pengelolaan dan distribusi hasilnya. Mencabut UU Perkebunan, mengembalikan tanah rajyat yang telah dirampas oleh pengusaha, perluasaan lahan pangan, dan penyelesaian konflik agraria.
Demikian juga terkait energi, melalui Dewan Energi Nasional yang ketuanya adalah Presiden merumuskan strategi pemenuhan energi yang terdistribusi ditiap-tiap wilayah Indonesia sesuai potensi yang ada. Terkait dengan kelapa sawit, daerah surplus diarahkan untuk menggunakannya sebagai pemenuhan energi lokal seperti tingkat kabupaten, provinsi maupun kawasan, jadi tidak untuk ekspor semata. Trekhir tentu Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) merupakan kunci bagi tercapainya kedaulatan pangan, energi, pembukaan lapangan kerja, memerangi kemiskinan dan kelaparan. Demikian juga diperlukannnya Komite Ad hoc penyelesaian konflik agraria secara nasional.