JAMBI. Kasus kriminalisasi Ahmad Azhari, Ketua Dewan Pengurus Cabang (DPC) Serikat Petani Indonesia (SPI) Kabupaten Merangin, Jambi, dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) hingga kini masih berlangsung. Hingga 16 Juli 2018, sudah dilakukan delapan kali sidang di Pengadilan Tinggi Negeri Jambi.
Dalam sidang tersebut, Henry David Oliver, Penasihat Hukum (PH) Azhari, mengatakan berdasarkan saksi-saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum tidak melihat kliennya melakukan perambahan.
“Ada enam orang saksi dari Desa Renah Alai, tidak seorang pun saksi yang melihat keempat terdakwa ini melakukan perambahan,” katanya usai persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jambi, Senin (16/7/18) sore.Dia membenarkan Azhari yang mengatakan akan bertanggung jawab jika terjadi masalah kemudian hari. Namun dia membantah Azhari bersedia bertanggung jawab dalam hal pidana.
“Maksud Azhari, dia ini bertanggung jawab, karena dia ini kan, ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) yang sudah biasa melakukan mediasi, penyelesaian-penyelesaian konflik agraria. Oleh karena itulah dia dipanggil, pada Jumat (26/01/18). Karena saksi mengatakan, pada tanggal itulah mereka pertama kali dan satu-satunya bertemu dengan Azhari,” kata dia.
Padahal, kata dia, sebelumnya menurut saksi ada dua kali pertemuan, yaitu di rumah Awal pada Jumat (12/01/18) dan di rumah Deri pada Jumat (19/01/18). Saat itu, Azhari tidak ada di sana.
Dikatakannya, Azhari baru diundang pada Jumat (26/01/18) setelah terjadi konflik.
“Dari situ kan jelas, Azhari dipanggil karena dia itu ketua SPI, yang memiliki wewenang dan kapabilitas agar bisa menyelesaikan, memediasi konflik-konflik ini,” katanya.
Ketika Azhari datang dalam pertemuan itu, dia menyarankan untuk tidak bermediasi dengan warga Renah Alai. Alasannya, mereka tidak akan menemukan titik temu. Untuk itu, Azhari menyarankan adanya pihak ketiga.
“Nah, kalau menurut keterangan saksi Kapolsek Jangkat, Ambarlianto minggu lalu, kalau perlu permasalahan ini dibawa ke Jakarta. Ke Jakarta itu, kalau menurut Azhari, kalau perlu diselesaikan oleh pihak ketiga yaitu Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Kehutanan, dan segala macam. Karena apa? Karena kalau mediasi ini tidak ada penengah yang bisa dihormati, warga Renah Alai dan pendatangnya sama-sama keras,” jelas David.
Dia melanjutkan, saat itu Azhari mengatakan, jaga suasana kondusif, kalau perlu mendatangkan pihak ketiga. Namun, Azhari tidak pernah mengatakan bahwa pihak ketiga itu adalah dia.
Dalam keterangan para saksi disebutkan, yang merencanakan dan menginisiasi rapat adalah Awal dan Deri. Namun, pada Sabtu (27/01/18) Awal dan Deri tidak ada di lokasi.
“Ketika yang lain ditangkap, dia buron, melarikan diri. Berarti kan, semakin jelas aktor intelektualnya siapa,” terangnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) SPI Jambi Sarwadi Sukiman menekankan, dalam prakteknya, perjuangan mempertahankan lahan yang dilakukan oleh petani SPI tidak melakukan perambahan hutan.
“Kita di SPI melakukan reklaiming dan memperjuangkan lahan dari perampasan tanah yang dilakukan oleh pihak perusahaan dan kita membangun kehidupan di atasnya dan menegakkan kedaulatan pangan,” tegasnya.
Sarwadi menambahkan perjuangan reforma agraria yang dilakukan SPI memiliki dasar-dasar konstitusi.
“Jadi setiap tindakan kita yang berjuang demi reforma agrarian, perjuangan mempertahankan tanah memiliki dasar hukum yang kuat,” imbuhnya.
“Landasan perjuangan agraria SPI adalah sila kelima Pancasila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, pembukaan UUD 1945, dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 Tahun 1960. Reforma agraria merupakan tanah yang didistribusikan kepada rakyat yang merupakan bekas swapraja. Subyek reforma agraria adalah rakyat yang menggarap tanah, buruh tani, penggarap yang mengerjakan tanah walaupun belum 3 tahun, hingga petani yang menggarap tanah yang kurang dari 0,5 hektar,” tutupnya.
Berita terkait: