Oleh : Eka Kurniawan Indra Sago **
JAKARTA. Pada tanggal 27-30 September 2016 di Bali, International Treaty on Plant Genetic Resources FOR Food and Agriculture (IT PFGRA) dilaksanakan oleh Permerintah Indonesia dan Pemerintah Norwegia. Pertemuan konsultasi IT PFGRA diikuti oleh Organisasi Tani La Via Campesina, Serikat Petani Indonesia (SPI), akademisi, peneliti, badan dunia seperti UPOV (International Union for the Protection of New Varieties of Plants) dan FAO (Food and Agriculture Organization) dari 38 Negara. IT PGRFA ini membahas perjanjian internasional tentang sumber daya genetik tanaman untuk pangan dan pertanian.
Bagi La Via Campesina (LVC) pertemuan ini sangat penting karena akan berdampak secara global, dimana bibit akan dipatenkan, diperdagangkan, dan diberikan berbagai standar. Standarisasi dimulai dari bagaimana bibit diproduksi, syarat-syarat bibit yang akan disebarkan harus melalui berbagai uji coba dan sampai pada kelengkapan administrasi yang rumit dalam pembuatan label. Hal ini sudah pasti sangat menyulitkan bagi petani-petani untuk mengikutinya.
Sebelum pertemuan IT PGRFA, LVC secara internal menyelenggarakan konsolidasi dan penyamaan pandangan terhadap benih mulai tanggal 22-26 September 2016. Kegiatan ini dihadiri oleh SPI sebagai tuan rumah, organisasi tani anggota LVC dari Mexico, Brasil, Colombia, Guatemala, Zimbawe, India, Pakistan, Perancis, Italia, Thailand, dan beberapa negara lainnya serta berbagai Non-Governmental Organization (NGO) jaringan.
Dalam pertemuan benih ini banyak hal baru yang bisa ditemukan, dimana bibit sebagai kehidupan pokok bagi bagi petani akan diindustrialisasikan, distandarkan, dicampuradukan gen-gen tanaman, dan organisme lainnya tergantung pada politik, kebijakan dan kepentingan kaum imprealis. Saat ini, benih jagung dan kentang hanya dikuasai oleh empat pemain utama yakni Syngenta, Dupont, Monsanto dan Bayern. Begitu juga benih hortikultura yang saat ini sudah 98 persen dukuasai oleh korporasi. Selain itu benih padi juga akan mengalami hal yang sama, hanya berbeda perlakuan saja, dimana saat ini padi mayoritas masih benih hibrida dan banyak dikembangkan oleh penangkar-penangkar petani. Tapi hal tersebut akan terus dikerucutkan menjadi produk dari industri-industri korporasi.
Dari presentasi perwakilan serikat petani di bawah LVC terungkap bahwa benih sudah masuk pada fase penyeragaman dan penentuan harga yang di tentukan oleh industri. Ketergantungan benih ini mulai terjadi dari berbagai negara, dengan penghilangan secara sistemik terhadap benih-benih lokal. Bahkan beberapa varietas benih lokal sudah tidak dapat ditemukan lagi. Sementara pada beberapa kasus, varietas benih yang sempat hilang, kini tiba-tiba muncul lagi dan diproduksi oleh industri.
Ahli benih LVC dari Perancis Guy Caastler menyatakan bahwa bibit yang semula adalah budaya sosial, budaya adat disebagian negara, juga kebudayaan dalam kehidupan petani, kini berangsur diambil dan dikuasai oleh kapitalisme. Karena kapitalisme ingin menguasai kehidupan untuk memupuk modal dan keuntungan semata. Mari kita amati, benih-benih di sekeliling kita, berapa persenkah yang masih kita miliki ?
UPOV atau Organisasi Perlindungan Varietas Tanaman Dunia, oranisasi ini bermulut manis tapi pahit dalam kenyataannya dan berpotensi menipu petani. UPOV telah bekerjasama dengan 56 negara anggota untuk membuat ketertindasan dan menghilangkan budaya pertanian serta ketergantungan benih dari produsen. Dimana harga yang ditentukan kadang tak terjangkau oleh petani kecil. Bisa kita lihat pemerintahan Amerika Serikat (AS) saja nyaris tumbang oleh industri benih karena mereka mengancam akan memberhentikan pasokan benih gandum dan jagung di AS.
Artinya produsen bibit mempunyai posisi tawar yang tinggi terhadap kebijakan politik. Kita juga harus ingat ketika pemerintahan SBY yang dibuat linglung dengan kelangkaan tempe di Indonesia karena ketergantungan terhadap kedelai impor. Kondisi demikian juga dialami pemerintahan Jokowi beberapa waktu yang lalu. Bayangkan jika suatu saat kita tidak mampu memproduksi benih dan tergantung pada perusahaan.
Belum lagi dengan penyeragaman tanaman yang berlangsung akan menghilangkan keragaman hayati khususnya plasma nutfah di alam kita. Penyeragaman tanaman juga mungkin akan menjadi musuh yang lebih besar lagi dengan hama dan ketahanan hama dilahan kita. Dengan telah terjadinya kriminalisasi benih pada petani di Kediri dan Malang, Jawa Timur beberapa tahun yang lalu, hanya karena jagung yang ditanam petani berdekatan dengan jagung yang ditanam perusahaan petani tersebut dihukum. Menjadi pelajaran berharga bagi kita tentang kebijakan pertanian ini.
Sudah beberapa dekade para korporasi dan negara-negara maju menawarkan konsep bahwa sistem hak eksklusif tersebut dapat membantu pembangunan pertanian dan mengatasi kelaparan dunia. Namun faktanya sistem tersebut telah membuat benih semakin mahal, biaya produksi semakin tinggi, kerusakan lingkungan, tidak ada perkembangan produksi yang berarti, ancaman kelaparan semakin tinggi di dunia terkhusus dibagian selatan dan keanekaragaman hayati yang semakin menurun. Hal tersebut menunjukkan bahwa skema IP, UPOV, TPP, TRIPs, WTO mempunyai dampak negatif terhadap pemenuhan hak-hak petani, pelestarian lingkungan, kedaulatan petani dan pangan serta kesenjangan ekonomi. Bahkan itu sebagai bentuk penjajahan baru melalui penguasaan varietas-varietas benih sehingga menciptakan ketergantungan politik, ekonomi dan sosial bagi sebagian besar penduduk dunia kepada sekelompok kecil orang.
Walaupun sikap Pemerintah Indonesia terhadap UPOV belum membuat ikatan penuh, tapi dengan adanya perwakilan UPOV di Indonesia sudah mengindikasikan bahwa Indonesia dalam waktu dekat ini akan menjadi anggota UPOV. Hal ini harus kita cermati, karena dapat membuat Indonesia masuk dalam jebakan baru dunia perbenihan yang semakin kapitalis. Terutama dalam benih holtikultura, Prof. Dr. Erizal Jamal Kepala Balai Pengelola Alih Teknologi Pertanian (BPATP) yang hadir mewakili Indonesia dalam IT PGRFA menyatakan bahwa perlunya kerjasama pemerintah dan swasta dalam pemanfaatan sumberdaya genetik bagi pengembangan kegiatan pertanian ke depan.
Berdasarkan praktek historis, sistem perbenihan petani yang dikelola dalam konteks khusus (kearifan lokal) diandalkan oleh petani kecil. Namun kegiatan itu telah difitnah, direndahkan sebagai keterbelakangan, usang dan dikriminalisasi. Petani dibawa ke pengadilan dan dipenjara karena mempertahankan basis biologis sebagai sistem hidup. Sementara perusahaan pangan dan benih yang mengeruk keuntungan besar dilegitimasi oleh sistem hukum atas benih seperti Intelectual Property right (IP), Plant Variety Protection, Sistem Budidaya Tanaman, dan perjanjian-perjajian multilateral.
Dampaknya adalah telah terjadi erosi yang mengkhawatirkan, keanekaragaman hayati pertanian dan pengetahuan tradisional atas pengetahuan tersebut, dan ancaman serius terhadap penggunaan sumber daya genetik/varietas yang berkelanjutan. Kemudian juga berkonsekuensi terhadap ketersediaan pangan dan keseimbangan ekologi serta kemanusiaan. Saat ini, Intelectual property right dan undang-undang turunannya tentang benih mengesampingkan budaya pertukaran benih antar petani sebagai tulang punggung sistem pertanian yang berkelanjutan, pelestarian benih dan kedaulatan rakyat dan hak asasi manusia atas pangan. Peran organisasi petani, Individu, perguruan tinggi dan para ahli yang mempunyai perhatian terhadap isu ini seharusnya tidak boleh berdiri pasif dan menonton bentuk perampasan yang dilegalisir dengan adanya potensi kehancuran yang akan ditimbulkan.
Sebagai gerakan petani SPI sudah memulai gerakan untuk memuliakan benih dan bibit, yang harus terus ditingkatkan untuk kedaulatan petani. Jangan sampai benih yang menjadi bagian penting dalam bertani digantungkan kepada pihak lain terutama industri. Dalam melawan arus kapitalisasi perbenihan global, petani anggota SPI selalu melakukan pertukaran benih, membuat laboratorium sederhana, penelitian dan kajian mendalam tentang benih dan bibit. Anggota SPI juga didorong untuk saling bertukar ilmu dan pengalaman, meneruskan pendidikan-pendidikan lebih tajam di setiap basis, cabang dan wilayah dalam berinovasi untuk mewujudkan kedaulatan pangan.
**Penulis adalah Ketua Departemen Polhukam Badan Pengurus Pusat (BPP) SPI