JAKARTA. Forum Ekonomi Dunia (WEF) Asia Timur diadakan pertama kalinya di Indonesia (12-13 Juni 2011). Negeri ini menyerah menjadi tempat deal korporasi—dan merelakan perusahaan-perusahaan lebih berperan dalam ekonomi.
Di saat bersamaan, Pascal Lamy, Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) juga menghadiri forum tersebut. Hal ini jelas terkait dengan usaha membangkitkan kembali WTO dari abunya sendiri. Indonesia sebagai negara yang selalu mempromosikan dilanjutkannya kembali Putaran Doha yang mati, berkepentingan untuk kembali melakukan hal serupa di forum tingkat regional ini.
Padahal faktanya adalah: Negosiasi WTO (terutama terkait pertanian, jasa dan industri) telah mati suri hingga hampir satu dekade. Usaha untuk menghidupkan kembali juga telah berkali-kali dilakukan: 2003 (Cancun, Mexico), 2004 (Jenewa, Swiss), 2005 (Hong Kong), 2008 (Jenewa), 2009 (Jenewa), hingga pertemuan intensif di awal tahun 2011 (Jenewa)—yang berakhir hampa. Fakta historis ini menunjukkan ada jurang besar di antara rakyat miskin di dunia—baik di negara maju maupun negara miskin dan berkembang—dengan model korporasi transnasional raksasa.
WTO adalah alat penjajahan gaya baru, yang pasti tidak akan memperhitungkan kepentingan rakyat banyak seperti petani kecil, buruh, dan nelayan—terutama juga perempuan dan anak, serta mengabaikan kelestarian lingkungan hidup. Sejak berdiri tahun 1995, sekitar 80 persen lebih volume perdagangan bebas dunia diraup oleh perusahaan transnasional raksasa. Makna pembentukan WTO untuk mewujudkan pekerjaan dan kesejahteraan bagi rakyat ternyata tak terwujud.
Maka dari itu, kunjungan Pascal Lamy—Direktur Jenderal WTO dan sales neokolonialisme-imperialisme—dalam misi utama untuk kembali menghidupkan negosiasi WTO yang mati suri jelas harus ditolak. Termasuk menolak bagi siapapun penyelenggara negara yang dengan sadar menggunakan kekuasaannya untuk memfasilitasi kembali hidupnya negosiasi WTO yang bertentangan dengan amanat konstitusi.
Untuk itu kami dari organisasi petani, nelayan, buruh dan organisasi masyarakat sipil menuntut agar pemerintah Indonesia membuang perdagangan multilateral di dalam WTO yang telah terbukti gagal. Lebih jauh lagi, kami menilai WTO telah membahayakan kehidupan rakyat kecil di dunia, baik petani, buruh, nelayan, miskin kota, pelajar, mahasiswa serta semakin memperparah kerusakan lingkunngan. Untuk itu, WTO harus keluar dari kehidupan rakyat.
Indonesia harus memikirkan ekonomi alternatif, yang berbasis konstitusi UUD 1945, untuk membangun dunia yang adil. Perekonomian ini harus juga diadvokasikan sebagai model perdagangan antarnegara di masa yang akan datang, terutama yang berbasis koperasi dan demokrasi ekonomi. Hal ini akan menghempang struktur ekonomi global tak adil saat ini yang berbasis korporasi, menindas rakyat dan tak peduli lingkungan hidup.
Selamat tinggal WTO, perdagangan bebas dan ekonomi berbasis korporasi!
Bangun demokrasi ekonomi berbasis konstitusi yang ramah lingkungan, demi kesejahteraan dan keadilan sosial!
Pernyataan sikap bersama:
Serikat Petani Indonesia (SPI), Koalisi Anti Utang (KAU), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Lingkar Studi Aksi Untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI), Institute For Global Justice (IGJ), Aliansi Petani Indonesia (API), Third World Network (TWN), Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).
=================================================================
Informasi lebih jauh, kontak:
Muhammad Ikhwan (Serikat Petani Indonesia, +62 819 320 99596, m.ikhwan@spi.or.id)
Yuyun Harmono (Koalisi Anti Utang, +62 818 0786 7506, harmono@gmail.com)