Sejengkal Tanah tumpah darah kami…….!!
JAKARTA. Kesejahteraan kaum tani dan organisasi kaum tani tidak lepas dari perkembangan di lingkungan sekitarnya, mulai dari kampung, dusun, desa, kota/kabupaten, hingga nasional dan internasional; baik dari segi sosial ekonomi, budaya maupun politik. Karenanya seiring dengan perkembangan informasi, teknologi dan penerapan demokrasi, petani tidak hanya memantau lintang waluku untuk musim tanam padinya, namun mau tidak mau juga harus memantau apa yang terjadi di balai desa, pendopo bupati, kantor kementrian pertanian, istana negara dan bahkan kantor pusat Bank Dunia, IMF, WTO, FAO dan IFAD. Dua badan terakhir ini merupakan lembaga Internasional di bawah PBB yang mengurus pangan, pertanian dan pembiayaan pembangunan pertanian Internasional. Lebih dari itu FAO dan IFAD sudah sekian lama menjalin kerjsa sama dengan Pemerintah Indonesia untuk program-program pembangunan Pertanian di Indonesia.
Dalam tiga tahun terakhir situasi pangan dan pertanian Internasional dapat dikatakan tidak stabil, oleh karena terpaan krisis keuangan global, krisis energi dan krisis perubahan iklim. Terpaan tersebut menghasilkan dampak kemiskinan dan kelaparan. Khususnya di kawasan pedesaan. Laporan FAO (2010) menyebutkan bahwa kelaparan penduduk dunia tahun 2009 mencapai 1.02 milyar, sementara kelaparan di Indonesia dilaporkan berjumlah 36.7 juta. Hal ini dapat diartikan bahwa ada persoalan yang sangat serius dalam akses terhadap alat produksi, mode produksi, distribusi dan pasar, sehingga buruh tani dan petani kecil di pedesaan menjadi miskin dan lapar karena termarginalkan dalam sistem pembangunan pertanian yang tidak adil.
Hari ini bisa kita lihat betapa besar dominasi korporasi pertanian. Lima perusahaan menguasai 90 persen perdagangan pangan biji-bijian global, tiga puluh korporasi utama retail pangan menguasai sepertiga penjualan global, dan enam korporasi menguasai 75 persen pasar pestisida global.
Dengan demikian dalam sistem yang tidak adil tersebut, krisis harga pangan yang mudah muncul tidak semata karena permasalahan produksi semisal karena perubahan iklim, tetapi juga oleh permainan harga melalui penciptaan kondisi kelangkaan pangan. Sebagai akibatnya buruh tani, petani miskin dan rakyat pedesaan mengalami kesulitan untuk membeli pangan tersebut. BPS (2010) mencatat bahwa kemiskinan pedesaan lebih tinggi dari kota dengan jumlah masing-masing 20.62 juta dan 29.93 juta orang. Jumlah kemiskinan pedesaan ini sebenarnya setara dengan jumlah petani gurem yang tercatat sebanyak 13.7 juta KK pada tahun 2003 dan 15.6 juta KK pada tahun 2008.
Pada tanggal 21 September 2010 telah dilakukan pertemuan Forum Petani Nasional dalam rangka refleksi menuju konsolidasi petani seluruh Indonesia. Forum ini dihadiri oleh 13 organisasi petani seluruh Indonesia yang menyimpulkan bahwa, ada sembilan masalah pokok yang dihadapi oleh petani di Indonesia.
Menyikapi permasalahan tersebut diatas, maka Forum Petani Nasional menuntut pemerintah untuk:
Demikian tuntunan ini kami sampaikan sejalan dengan peringatan lima puluh tahun UUPA dan Hari Tani Nasional 24 September 2010.
Kontak:
Serikat Petani Indonesia (SPI): Henry Saragih (0811655668)
Aliansi Petani Indonesia (API): M. Nurrudin (081334344808)
Wahana Masyarakat Tani Indonesia (WAMTI): Agusdin Pulungan (08129184101)