PASAMAN BARAT. Puluhan petani anggota Serikat Petani Indonesia (SPI) melakukan reklaiming di atas lahan eks HGU (Hak Guna Usaha) PTPN VI Ophir, siang ini (03/01).
Rustam Effendi, Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI Sumatera Barat (Sumbar) menjelaskan, dengan berakhirnya masa HGU PTPN VI Ophir sesuai sertifikat No 1 Tanggal 27 April 1994 berakhir pada tanggal 31 Desember 2017, maka SPI Basis Batang Lambau melakukan upaya terakhir sebagai perwujudan upaya pengembalian hak, yaitu dengan menduduki lahan tersebut yang menjadi tuntutan seluas 1.500 hektarHal sesuai dengan hasil pengukuran ulang yang dilakukan oleh BPN (Badan Pertanahan NAsional) Pasaman Barat di areal perkebunan kelapa sawit PTPN VI pada tahun 2014.
Hal senada disampaikan Januardi, Ketua Badan Pelaksana Cabang (BPC) SPI Kabupaten Pasaman Barat. Menurutnya, Batang Lambau adalah Perkampungan Imbang Langik, sedangkan warganya adalah cucu dan kemanakan Imbang Langik sebagai petani penggarap yang aktif mengolah sawah ladang mereka, yang dimulai jauh sebelum kemerdekaan.
“Cucu kemenakan Imbang Langik tersebut telah diberi izin mengolah dan menggarap tanah di ulayat perkampungan Imbang langik (sekarang berada di Jorong Sigunanti Nagari Kinali Kabupaten Pasaman Barat tepatnya di inti III dan IV PTPN VI Ophir sebagian),” katanya.
Ia melanjutkan, pada awalnya diklaim Pemda Kabupaten Pasaman (saat ini Kabupaten Pasaman Barat) sebagai tanah negara bekas erfacht selanjutnya diserahkan untuk perkebunan kelapa sawit PTPN VI Ophir (kebun Inti III dan IV). Kebun Inti III dan IV bagian dari HGU PTPN VI (Persero) Kebun Ophir seluas 3.549.16 Ha sesuai sertifikat Nomor : 1 tanggal 27 April 1994 dan berakhir 31 Desember 2017.
“Pada awal pembangunan perkebunan tersebut para petani (cucu dan kemenakan imbang langik) tidak berdaya mempertahankan tanah (sawah, ladang dan kampung) dan terusir dari tanah sumber kehidupan mereka, ada yang pergi merantau keluar provinsi untuk mencari hidup dan kehidupan, dan aset yang ada seperti padi yang sedang menguning, kebun dan rumah diratakan dengan tanah oleh pihak PTPN VI, begitu juga dengan makam pusara sebagai bagian dari bukti-bukti kepemilikan,” terangnya.
Januardi menjelaskan, semenjak perkebunan kelapa sawit PTPN VI Ophir dibuka tahun 1982, pada masa proses pengurusan HGU dan hingga saat ini dalam perkembangannya menimbulkan banyak permasalahan di antaranya hilangnya sumber penghidupan masyarakat batang lambau.
“Mereka tercerai berai pindah ke beberapa daerah di Kinali bahkan ada yang merantau keluar provinsi, dan dalam hal ini ninik mamak Imbang Langik sewaktu itu tidak dapat berbuat banyak untuk memperjuangkan sawah ladang cucu kemenakan karena diintimidasi aparat negara zaman orde baru,” jelasnya.
Januardi melanjutkan, setelah era reformasi, para petani yang telah tercerai berai tersebut kembali bersatu (sebagian di anjutkan oleh anak cucu kemenakan mereka) dan bergabung ke SPI pada tahun 1999.
“Dari beberapa usaha dan upaya yang dilakukan sampai saat ini, 18 tahun lamanya belum menemukan titik penyelesaian yang berpihak kepada petani,” ungkapnya.
Syahrel, Ketua SPI Batang Lambau menambahkan, oleh karena itu petani SPI melakukan reklaiming, merebut kembali hak-haknya.
“Dalam upaya ini kami menghentikan seluruh aktifitas perusahaan yang berada di lokasi perjuangan serta akan menanami tanah perkampungan kami dengan berbagai jenis tanaman yang bisa mendukung kehidupan,” tambahnya.