JAKARTA. Kekerasan terhadap kaum tani kembali terjadi di Indonesia. Seminggu sebelumnya kekerasan menimpa petani di Kabupaten Rembang- Jawa Tengah. Kali ini kekerasan ini menimpa kaun tani yang tergabung dalam Serikat Petani Karawang (SEPETAK) di Kecamatan Teluk Jambe Barat, Kabupaten Karawang Jawa Barat. Pada tanggal 24 Juni 2014 ratusan petani dari tiga desa dari kecamatan tersebut mendapat berbagai kekerasan dari ribuan polisi ketika mereka mempertahankan 350 hektare lahannya dari aksi eksekusi Pengadilan yang memenangkan PT. Sumber Air Mas Pratama – anak perusahaan PT. Agung Podomoro dalam sengketa tanah dengan ratusan petani pemilik lahan tersebut. Siraman air dari water canon, gas air mata dan hantaman dari polisi telah menyebabkan tidak kurang dari 15 petani terluka dan 8 orang diantaranya harus dilarikan ke rumah sakit. Jelas kekerasan tersebut melanggar ajaran agama, nilai budaya dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Insiden kekerasan tersebut sekaligus menunjukkan kelemahan pemerintah dalam mengimplementasikan program pembangunan baik dari subtansi pembangunannya maupun pendekatan kepada masyarakat. Dari sisi rencana pemanfaatan, Tanah seluas 350 hektar tersebut akan dibangun untuk kawasan industri yang menjanjikan, terlebih adanya rencana pembangunan bandara di Karawang. Dalam hal ini Karawang akan lebih diarahkan untuk menjadi kawasan bisnis, perkantoran dan properti, bukan dipertahankan sebagai lumbung pangan. Dengan demikian alih fungsi lahan pertanian untuk kawasan bisnis lebih lagi. Pemerintah Kab.Karawang seharusnya mempertimbangkan fungsi dan manfaat dari sumber daya agraria tersebut bagi petani dan rakyat sekitarnya.
Hal yang patut dipertanyakan juga adalah pengerahan aparat polisi dan brimob yang begitu banyak dalam eksekusi lahan tersebut. Ternyata aparat memang lebih berpihak kepada para pemodal. Demikianlah ketika kepemilikan lahan oleh petani selalu dalam posisi tidak pasti di mata pemerintahan SBY menjelang berakhir periodenya. Sehingga dengan mudah tanah – yang menjadi Hak Asasi Petani mereka berikut dengan fungsi sosialnya– berpindah tangan ke Pihak yang lain.
Sementara itu, alih fungsi lahan pertanian tersebut akan menjadikan hilangnya sumber pangan rakyat dan petani Karawang sendiri akan kehilangan sumber penghidupannya. Dalam 10 tahun terakhir (2003-2013) tidak kurang dari 5,04 juta keluarga tani meninggalkan pertaniannya (Sensus Pertanian 2013). Berapa lagi rumah tangga pertanian yang hilang dan berapa hektar tanah yang teralihfungsikan? Sungguh memprihatinkan pertimbangan hal ini ternyata diabaikan dan lebih tertarik pada godaan pasar, investor dan petani dipandang remeh – sehingga dengan mudah dirubah sesuai keinginan pasar, investor atau segelintir kelompok.
Sementara dari sisi pendekatan, betapa pemerintah masih mengutamakan model intimidasi dan represif untuk menghilangkan pendapat yang tidak setuju atas program pembangunan, daripada pendekatan melalui musyawarah, komunikasi dan mendengarkan suara-suara petani dan keluarganya. Selama ini mereka dengan sabar memproduksi pangan untuk semua rakyat, polisi dan pejabat pemerintah di Karawang, khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya. Dan karena itu pula Presiden SBY awal juni yang lalu mengucapkan terima kasih kepada petani produksi pangan, tapi mengapa saekarang malah mengusir petani dari lahan mereka? Ternyata Pembangunan dengan menggusur masih diutamakan. Bukankah ini seperti air susu dibalas air tuba terhadap petani.
Untuk itu atas insiden kekerasan tersebut, Serikat Petani Indonesia menyatakan :
Jakarta, 26 Juni 2014
Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI)