Pandangan SPI terhadap situasi ekonomi-politik Indonesia
Realitas ekonomi-politik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarahnya yang panjang. Jatuh-bangunnya negeri ini mulai dari masa kolonial kuno, kolonial modern hingga era globalisasi-neoliberal adalah hal mendasar yang harus dicamkan oleh bangsa ini. Kita tidak boleh lupa, bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah kelam penjajahan dan kita terus ditindas dari satu penjajahan ke penjajahan berikutnya, dari kolonial Portugis, Inggris, Belanda hingga penjajahan Jepang. Masih belum terwujudnya keadilan sosial di negeri ini adalah salah satu ciri penjajahan gaya baru yang telah disebutkan oleh Soekarno sebagai nekolim: neokolonialisme-imperialisme.
Dari fakta-fakta tersebut, rakyat Indonesia nyata-nyata tak memiliki kedaulatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara, kedaulatan rakyat tersebut dalam catatan sejarah justru adalah yang paling lebih dahulu diberangus oleh kaum kolonial. Rakyat Indonesia terus diperas darah dan keringatnya dalam rangka memakmurkan kaum penjajah. Bahkan sewaktu sudah secara de facto dan de jure merdeka, situasi ekonomi-politik masih terus karut-marut hingga dewasa ini.
Pembangunan yang berpihak kepada rakyat coba dilaksakan oleh pendiri bangsa kita, namun terhenti di tahun 1965. Setelah era Orde Baru dan rezim Soeharto berkuasa, praktis hak-hak rakyat ditinggalkan karena terjadi persekongkolan antara pemerintah dengan kaum pemilik modal dan pebisnis besar. Hal ini mengakibatkan output dari proses ekonomi-politik hanya dikuasai oleh segelintir orang belaka. Bahkan pada era reformasi yang diharapkan bisa mengembalikan kedaulatan rakyat, yang terjadi malah reproduksi penetrasi modal dan perusahaan-perusahaan asing yang kuat. Alhasil, negeri ini secara faktual memang terus dijajah hingga sekarang.
Menurut Soekarno, era penjajahan ini secara umum diwakili dengan 3 (tiga) karakteristik yakni: (i) Diposisikannya perekonomian Indonesia sebagai pemasok bahan mentah bagi industri-industri di negara maju; (ii) Dijadikannya perekonomian Indonesia sebagai pasar produk yang dihasilkan oleh industri-industri di negara maju; dan (iii) Dijadikannya perekonomian Indonesia sebagai tempat untuk memutar kelebihan kapital yang terdapat di negara-negara maju.
Indonesia adalah negara yang kaya raya, yang bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sangat melimpah ruah. Hal ini pula yang menarik penjajah dari luar datang ke Indonesia. Atas nama perdagangan, dulu bangsa asing datang ke pelabuhan-pelabuhan kita dan menjalin hubungan ekonomi. Yang paling mudah dipahami adalah pada saat datangnya Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) di Indonesia tahun 1602. Hubungan dagang ini pula yang selanjutnya dicatat sejarah sebagai transformasi menuju eksploitasi manusia atas manusia lainnya (l’exploitation de l’homme par l’homme) yang mengeruk tidak hanya bumi, air dan kekayaan alam Indonesia namun juga tenaga rakyatnya.
Penjajahan atas nama dagang dan investasi luar ini diperkuat lagi pada tahun 1870 di era kolonial Belanda. Dibukanya penanaman modal dari perusahaan partikelir Kerajaan Belanda mengantar bangsa kita ke jurang penjajahan babak selanjutnya. Dibukalah onderneming-onderneming kolonial, dibukalah lahan seluas-luasnya sehamparan mata memandang dan hal tersebut mutlak dikuasai kaum pemilik modal—bukan oleh rakyat. Khusus dalam sektor agraria, pembukaan investasi besar-besaran oleh kolonial Belanda pada tahun 1870 ini juga sebagai salah satu tonggak penjajahan bagi kaum tani yang terbesar di negeri ini dengan dikeluarkannya Agrarische Wet (AW). UU Agraria kolonial inilah yang memberikan hak guna kepada pemilik kapital untuk bisa mendirikan perkebunan raksasa dan mengisap kekayaan alam negeri ini. Perkebunan ini pula yang selanjutnya mengeksploitasi rakyat Indonesia dan menjadikan kita ‘koeli di negeri sendiri’.
Sepanjang sejarah, masa yang tercatat benar-benar memperhatikan kedaulatan rakyat adalah pada masa pasca proklamasi kemerdekaan hingga tahun 1965. Hal ini jelas karena cara pandang pendiri bangsa kita terhadap ekonomi-politik memang sangat berbeda. Dengan karakteristik kolonial, jelas yang dikedepankan adalah kepentingan segelintir pemilik modal dan penguasa belaka. Sedangkan untuk Indonesia yang mengalami pahit-getirnya dijajah, tentunya perspektif ekonomi-politiknya haruslah merupakan koreksi total terhadap ciri-ciri kolonial tersebut (Revrisond Baswir, 2007).
Karena itulah pada era 1945 hingga 1965 terjadi proses pembangunan yang berusaha mendekonstruksi kebijakan-kebijakan ekonomi-politik pada era kolonial. Dalam sektor agraria, dibuatlah sebuah UU Pokok Agraria yang menjadi payung hukum di tingkat nasional. UU itulah yang dikenal sebagai basis legal kaum tani untuk menegakkan hak-haknya atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Di dalam UU ini pula terjadi penegakan prinsip ‘tanah untuk penggarap’ (land to the tiller) yang sudah lama diperjuangkan kaum tani di seantero nusantara. Di bidang yang lebih umum lagi, pemerintahan Soekarno-Hatta pada saat itu merancang Pembangunan Semesta yang diharapkan bisa merestrukturisasi ulang kekayaan sehingga terjadi pemerataan dan keadilan sosial yang diimpi-impikan rakyat.
Namun, jembatan emas kemerdekaan yang dibangun dengan darah dan air mata itu tak sepenuhnya bisa utuh. Pergantian rejim pada tahun 1966 kembali melemparkan rakyat ke jurang penjajahan, yang kali ini bahkan lebih dalam lagi. Selama kurang lebih 32 tahun Indonesia diperangkap oleh persekongkolan aparat pemerintah dan pemodal serta antek-anteknya. Bahkan UU yang pertama kali dikeluarkan rejim Soeharto adalah UU Penanaman Modal Asing (PMA) yang mengingatkan kita kembali pada era 1870-an kolonial Belanda. Selanjutnya seperti tertulis dalam sejarah, Indonesia kembali diisap sebagai penghasil bahan mentah: pangan, hingga minyak dan gas kita diekspor ke luar negeri. Selanjutnya, kita juga mengimpor bahan jadinya seperti produk pangan olahan hingga bahan bakar dan produk otomotif.
Sementara itu, perdagangan bebas yang dipromosikan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) makin menggerogoti pasar domestik Indonesia dengan banjir produk industri dari luar. Sistem ini membuat para aktor perusahaan transnasional dan pemodal besar makin leluasa menghancurleburkan ekonomi Indonesia. Yang terjadi akhirnya ketergantungan dan ketertindasan baik produsen maupun konsumen dalam negeri. Sementara produk kita hancur dan tak bisa bersaing baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam bidang pertanian, banjir impor produk pangan nyata-nyata menghancurkan kehidupan petani. Dampak terburuknya adalah pada harga dan pasar domestik tidak bisa dikendalikan oleh petani. Rakyat kembali tak berdaulat dalam sistem ekonomi globalisasi-neoliberal yang dipromosikan WTO tersebut.
Manutnya Indonesia sebagai anak patuh (good boy) rezim Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, juga menghasilkan rekomendasi-rekomendasi kebijakan dan praktek neoliberal di negeri ini. Kebijakan inilah yang terus mereproduksi penjajahan dalam bentuk baru, dengan dasar Konsensus Washington: privatisasi-deregulasi-liberalisasi pasar. Kebijakan-kebijakan ini adalah buah persekongkolan (korupsi, kolusi dan nepotisme) rejim pemerintah Indonesia, bekerja sama dengan pihak pengusaha besar dan kroni-kroninya. Dengan praktek yang menihilkan keterlibatan rakyat, jelas pada akhirnya dampak yang dihasilkan sangat menghancurkan. Utang negara pun menumpuk, sementara negeri ini di ujung krisis.
Pasca hantaman krisis 1997 dan lengsernya rezim Soeharto, proses reformasi, yang diharapkan menjadi tonggak kembalinya kedaulatan rakyat ternyata tidak juga terwujud. Hal ini diakibatkan sistem ekonomi-politik yang dilakukan negara cenderung mereproduksi sistem sebelumnya. Tak jauh beda misalnya, apa yang dilakukan oleh rezim Habibie-Megawati-Gus Dur dan yang paling mutakhir SBY: penetrasi kapital luar masih sangat mengerikan, kekayaan alam dan sumber daya manusia kita masih terus diperas dan dialirkan sebagai bahan mentah industri negara maju. Sebut saja aktor-aktor perusahaan transnasional yang makin menancapkan kukunya di Indonesia: Freeport mengeruk emas dan tembaga, Monsanto mengeruk kekayaan hayati, Lonsum dan Wilmar mengeruk kekayaan alam dan hutan, Nike mengeruk tenaga dan keringat buruh, dan masih ada lagi ribuan perusahaan transnasional lain. Tidak lupa pula, Indonesia masih menjadi pasar produk industri dari negara maju bahkan juga dumping produk pertanian yang menghancurkan pasar lokal.
Salah kaprah dalam memandang ekonomi-politik di Indonesia memang terus berlarut-larut hingga saat ini. Baik pemerintah, ekonom, maupun pengambil keputusan saat ini tidak bisa menelaah perbedaan antara ekonomi terjajah dan kemerdekaan ekonomi. Akibatnya—seperti yang selama ini terjadi—perekonomian hanya dianggap sebagai data-data statistik belaka layaknya pertumbuhan ekonomi, Produk Domestik Bruto (PDB), nilai kurs, dan sebagainya. Dalam sistem politik sendiri, hal inilah yang disebutkan oleh Sritua Arief (1997) yang menghasilkan distorsi. Dan oleh karena itu pula, muncul persekongkolan antara pemerintah dan pemodal besar serta pihak-pihak perantara yang mengambil surplus ekonomi dari ekonomi rakyat. Selanjutnya hal tersebut didukung pula oleh kaum pemikir ekonomi kanan baru yang ingin meminimalkan peran pemerintah dalam kehidupan sosial-ekonomi. Dalam bahasa yang lebih lugas, ekonom fundamentalis pasar inilah yang disebut sebagai Mafia Berkeley.
Selanjutnya yang terjadi adalah pengkhianatan terhadap mandat kemerdekaan Indonesia. Mandat tersebut, seperti yang tercantum dalam konstitusi negara kita UUD 1945 naskah asli, adalah:
“…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”.
Walaupun fakta menunjukkan pertumbuhan ekonomi tinggi, namun ternyata kenyataan ini gagal dan bertolak belakang di tengah tatanan kerakyatan. Malah, pertumbuhan ekonomi ini makin menjerumuskan Indonesia ke dalam perangkap neokolonialisme-imperialisme. Rakyat tidak beruntung, dan bahwa keuntungan hanya dikuasai segelintir penguasa dan pemilik kapital— bahkan negara terus dililit utang menuju kebangkrutan.
Dalam pelaksanaannya, ekonom-ekonom penjajah inilah yang menjerumuskan negara dengan praktek yang disebut corporatocracy (John Perkins, 2004). Praktek inilah yang lebih mengutamakan kepentingan imperium kapital global daripada mengoreksi struktur ekonomi kolonial. Indonesia masih sangat menghamba pada investor asing untuk membangun negerinya, masih tetap menjual kekayaan alamnya terutama tanah, hutan, minyak, gas dan bahan tambang ke perusahaan-perusahaan transnasional asing, serta terus kebanjiran barang impor hasil pertanian, industri dan jasa dari luar negeri.
Pandangan SPI terhadap situasi politik Indonesia
Keruntuhan Soeharto pada tahun 1998 diyakini akan membawa kebaikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sumbatan-sumbatan demokrasi diharapkan bisa terbuka, yang memberikan kesempatan besar bagi rakyat untuk menyuarakan hak-haknya. Hak-hak tersebutlah yang selama ini telah diredam oleh rezim Orde Baru yang otoriter dan sentralistik, melalui pemandulan demokrasi keterwakilan selama lebih 32 tahun lamanya. Garis emosi dan tanggung jawab yang menghubungkan rakyat dan para wakilnya menjadi kabur dan bahkan putus sehingga suara-suara rakyat menjadi bias, sebaliknya yang tampak adalah garis tegas antara wakil rakyat dan eksekutif.
Disamping pemandulan demokrasi seperti yang dinyatakan sebelumnya, rezim Orde Baru juga melakukan berbagai hal untuk melanggengkan kekuasaannya melalui: (i) Represi politik dan ideologi dengan alasan untuk menciptakan stabilitas nasional. Hal ini dilakukan melalui kendali terhadap gerakan rakyat dengan menggunakan konsep dwifungsi militer. Tercakup dalam upaya ini adalah hegemoni terhadap kekuatan-kekuatan sipil rakyat dan bisnis-bisnis militer; (ii) Klientelisme ekonomi sebagai upaya kerjasama dengan kaum pemilik modal untuk melakukan eksploitasi sumber kekayaan agraria yang seharusnya dikuasai oleh rakyat. Dengan kata lain simbiosis mutualisme atau program yang saling menguntungkan justru terjadi antara penguasa dan pemilik modal baik domestik maupun asing, bukan sebaliknya kepada rakyat (dan khususnya kaum tani); (iii) Wacana partikuralistik sebagai upaya kontrol terhadap persepsi dan pola pikir partisipan politik, seperti Demokrasi Pancasila, asas tunggal dan integrasi nasional; (iv) Korporatisme negara sebagai upaya kendali terhadap ormas-ormas yang berpotensi melawan negara.
Sebagai akibatnya, produk-produk kebijakan publik dan program pembangunan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga demokrasi pada masa rezim orde baru tidak lain suara dari para wakil rakyat (legislatif) dibawah kontrol dan untuk kepentingan lembaga eksekutif (birokrasi), militer, presiden dan kroni-kroninya. Kekuatan eksekutif birokrasi menjadi representasi kekuatan negara (state) sebagai agen kapitalisme global. Implikasinya, strategi pertumbuhan ekonomi yang dilakukan rejim Orde Baru dengan prinsip trickle down effect atau ‘menetes kebawah’ justru mengalirkan hasil pembangunan itu ke periuk rejim Orde Baru sendiri. Runtuhnya kedaulatan rakyat ini diperparah dengan intervensi rejim internasional seperti IMF, Bank Dunia dan WTO di akhir masa berkuasa rejim Orde Baru. Rakyat yang sudah tertindas oleh represi politik pun menjadi lebih tertindas secara ekonomi-politik.
Namun demikian, harapan dan prasangka baik terhadap runtuhnya rejim Orde Baru yang dinyatakan sebagai era reformasi pada tahun 1998 tersebut tinggal harapan belaka. Sumbatan-sumbatan demokrasi memang sudah terbuka, tetapi tidak memberi manfaat bagi rakyat. Demokrasi pada kondisi kemiskinan, keserakahan dan kerakusan menjadi alat yang strategis untuk memilih mana yang menguntungkan dan mana yang tidak bagi rakyat. Adalah benar adanya bahwa era reformasi sampai dengan 2007 telah menghasilkan beberapa terobosan politik (yang sekaligus sebagai kecerobohan politik), praktek-prakteknya antara lain adalah: (i) Kebijakan multi partai; (ii) Otonomi daerah; (iii) Amandamen terhadap UUD 1945 naskah asli; (iv) Pemilihan Umum langsung oleh rakyat seperti pada pemilu tahun 2004; (v) Posisi DPR semakin kuat di depan eksekutif; (vi) Dewan Perwakilan Daerah dibentuk sebagai pengganti Utusan Daerah; (vii) MPR bukan lagi menjadi lembaga tertinggi negara; (viii) DPA dibubarkan; (ix) Munculnya calon independen; dan yang terakhir (x) Liberalisasi media/pers.
Ditinjau dari fenomena tersebut, maka perubahan struktur dan fungsi politik bisa dikatakan berubah secara mendasar. Tetapi aspek budaya dan tradisi politik belum tentu berubah. Hal ini bisa dilihat dari :
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa budaya politik di era sekarang, era reformasi, sebenarnya masih pola paternal (atas-bawahan) dan berorientasi kekuasaan. Malah dalam beberapa praktek, jelas pula bahwa sistem politik di negeri ini dibawa ke arah demokrasi liberal. Dengan kata lain, sistem politik Indonesia masih merupakan reproduksi kolonial yang mewujud pada tatanan politik neokolonial. Hasil pemilu 2004 bisa dijadikan buktinya dan sekaligus juga bisa dikatakan sebagai kegagalan reformasi. Karena gagalnya reformasi tersebut, maka pemerintahan, parlemen dan partai politik, serta militer yang masih juga berorientasi pertahanan masih terus memfokuskan diri pada musuh dari dalam dipenuhi oleh pemain politik lama. Pemain politik lama inilah yang terdiri dari para pengusaha dan pemilik modal yang lahir dari tradisi yang dikembangkan oleh praktek kolonial yaitu penindasan, ketidakadilan dalam monopoli, oligopoli, nepotisme, kolusi dan korupsi.
Selanjutnya ditinjau dari konstalasi dan relasi antar simpul-simpul penyelenggaraan pemerintahan dapat dianalisis sebagai berikut. Pada jaman rezim Orde Baru, eksekutif, legislatif, yudikatif, aparat birokrasi dan masyarakat sipil dikontrol sepenuhnya oleh eksekutif (dalam hal ini Soeharto); sementara pada masa Abdurahman Wahid, Megawati dan SBY, praktis eksekutif harus berhadapan dengan kekuatan mandiri legislatif, yudikatif, birokrasi, dan militer. Dengan demikian cara pandang kinerja ekonomi politik rezim pasca Orde Baru adalah cara pandang eksekutif, sementara cara pandang kinerja negaranya juga mesti tidak lepas dari cara pandang legislatif, birokrasi dan militer. Pada posisi yang diametral tersebut, tentu dinamika dialog menjadi lebih tinggi—terlepas apakah dialog yang muncul konstruktif atau tidak terhadap kedaulatan rakyat.
Namun demikian ruang dialog tersebut ternyata hanya sekadar ornamen demokrasi semata, karena eksekutif tetap tidak menghiraukan suara dari legislatif dan bahkan elemen rakyat yang menentang keputusan eksekutif. Sebagai contoh nyata adalah beberapa kebijakan pemerintah yang dikeluarkan dari kurun waktu 1998-2007 melalui serangkaian peraturan perundangan yang berkaitan dengan sumber-sumber agraria, perburuhan, privatisasi, pencabutan subsidi, energi, bahan bakar nabati, impor benih, impor beras dan penanaman modal. UU maupun regulasi tersebut adalah UU Kehutanan (1999), UU Migas (2001), UU Perkebunan (2004) yang menggusur petani, UU Sumber Daya Air (2004) yang membuka peluang privatisasi air, Perpres No. 36 (2005), Perpres No. 65 (2006) hingga yang terbaru: UU Penanaman Modal (2007) yang isinya total mengejawantahkan prinsip-prinsip neokolonialisme-imperialisme.
Konsekuensi lebih jauh dari nihilnya kedaulatan rakyat tersebut di era neokolonialisme-imperialisme ini adalah: (i) Rakyat memang diberi kebebasan untuk berkumpul dan berserikat oleh pemerintah, namun tidak diikuti diberi ruang yang cukup dalam pengambilan keputusan; (ii) Dijadikannya HAM sebagai agenda pemerintah tapi tidak diikuti dengan tuntutan terhadap pelaku-pelaku pelanggar HAM, dan lain sebagainya; (iii) Politisasi oposisi semu, artinya pelembagaan dalam konteks ini tidak mengemuka dan membumi hanya pertikaian segelintir elite saja.
Dengan demikian pemerintah cq negara telah gagal menjalankan kewajibannya memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat (warga negara Indonesia). Sebaliknya justru perjuangan massa rakyat membela hak-hak dasarnya, telah ditanggapi oleh negara secara represif yang berdampak pada pelanggaran hak sipil-politik yang dilakukan negara dan modal. Bentuk pelanggaran hak-hak yang merupakan kedaulatan rakyat dilakukan via kekerasan dengan hukum (judicial violence) dalam rangka melindungi penindasan modal (capital violence) dalam cabang-cabang produksi yang seharusnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Tuntutan SPI untuk mengembalikan kedaulatan rakyat
Ada beberapa catatan dalam menegakkan kedaulatan rakyat dalam kasus Indonesia. Yang pertama harus dilihat adalah situasi rakyat secara umum, dimana terjadi kondisi yang melanggengkan penindasan struktural seperti yang telah dinyatakan sebelumnya.
Pertama, yang terjadi adalah sistem penjajahan baru (neokolonialisme-imperialisme) yang berwujud pada masuknya kebijakan dan praktek globalisasi-neoliberal di negeri ini masih menganggap rakyat di Indonesia pada umumnya sebagai kaum paria, kaum yang gampang ditindas. Setali tiga uang, peran negara untuk menjamin hak-hak warga negaranya pun dikebiri dengan kebijakan-kebijakan ala Konsensus Washington (privatisasi-deregulasi-liberalisasi pasar). Hal ini secara struktural mengakibatkan reproduksi terus-menerus dari sistem ekonomi-politik kolonial di negeri ini.
Kedua, di tatanan kehidupan sehari-hari tetap ada situasi surplus kelas tertindas. Misalnya kaum tani, tetap dijaga agar secara struktural tidak mendapatkan alas produksi. Kaum buruh misalnya, tetap diambangkan dengan banyaknya massa buruh yang tidak mendapatkan pekerjaan. Hal ini mengakibatkan leluasanya kapital untuk mendapatkan pergantian kelas pekerja untuk dieksploitasi. Hal ini juga digunakan sebagai tekanan bagi massa kelas tertindas agar tetap bisa diperbudak untuk diiisap produksinya dalam sistem eksploitasi. Contoh konkritnya adalah jika persediaan (suplai) beras tidak bisa didapatkan di suatu daerah, misalnya Karawang, maka para pencari rente-pengusaha besar-tengkulak masih bisa mencari persediaan beras di daerah lain dengan memainkan harga. Petani yang menginginkan harga yang baik untuk produknya juga dengan mudah bisa dipinggirkan, karena masih tertindasnya juga petani di daerah lain dengan harga yang relatif lebih murah. Jika buruh protes, maka pabrik dengan gampang bisa memecat mereka dan beribu-ribu bahkan berjuta-juta buruh lain siap menggantikannya dengan upah yang sama—atau lebih murah. Hal ini memudahkan para pemilik kapital untuk terus menjaga ketertindasan rakyat secara umum.
Ketiga, belum terorganisasinya rakyat secara kuat. Hal ini membuat kekuatan kapital yang bekerja sama dengan pemerintah cq negara bisa dengan mudah mencerai-beraikan massa. Kondisi massa yang terpisah-pisah, masih memiliki ego sektoral yang kuat, ditambah kebhinekaan bangsa kita yang memang gampang digunakan oleh para penjajah. Malah, yang sekarang digunakan kaum kapital adalah dikotomi pusat dan daerah dalam isu otonomi, isu-isu sektoral dan bahkan SARA untuk memecah-belah dan menguasai rakyat (devide et impera).
Untuk memecahkan masalah-masalah mendasar tersebut, diperlukan perombakan sistem politik dan ekonomi-politik yang menyeluruh. Seperti yang dipaparkan sebelumnya, kedaulatan rakyat adalah faktor mendasar yang tidak melandasi sistem ekonomi dan politik negeri ini. Maka dari itu, untuk menegakkan kedaulatan rakyat di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, perlu diperhatikan beberapa proyeksi ke depan:
Dalam pandangan SPI sebagai wadah perjuangan kaum tani nasional, musuh terbesar dari tidak terwujudnya kedaulatan di tangan rakyat di negeri ini adalah globalisasi-neoliberal secara ekonomi-politik. Sebagai organisasi terdepan dalam perjuangan melawan neokolonialisme-imperialisme, untuk hal tersebut tidak bisa tidak kaum tani Indonesia mesti bersatu untuk bergerak melawan. Dan perjuangan ini haruslah dalam kerangka ekonomi-politik-sosial-budaya sebagai berikut:
Keseluruhan dari delapan kerangka inilah yang menjadi pegangan kami untuk merebut kembali kedaulatan rakyat hingga terwujud kedaulatan dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam budaya. Maka dari itu, kami petani Indonesia menyatakan resolusi sebagai berikut:
Demikian resolusi ini kami nyatakan dengan tegas dan sebenar-benarnya, sehingga seluruh rakyat harus dapat memahami dan melaksanakannya sesegera mungkin. Kami kaum tani Indonesia akan terus berjuang sampai resolusi ini berhasil dilaksanakan.
Wonosobo, 5 Desember 2007
Serikat Petani Indonesia (SPI)