JAKARTA (25/11) – Sebelas hari Menjelang konferensi para pihak ke-15 (COP 15) tentang perubahan iklim yang akan berlangsung di Copenhagen pada tanggal 7-18 Desember mendatang, satu hal yang menarik untuk disikapi adalah, dimana Uni Eropa dan pemerintah Indonesia telah melakukan Perjanjian Kerja sama dan Kemitraan (Partnership and Cooperation Agreement/PCA) untuk mendorong liberalisasi perdagangan antara Indonesia dan Uni Eropa sekaligus mengikat kerjasama terkait mitigasi perubahan iklim dengan menyediakan dana sebesar 550 juta Euro.
Kerjasama terkait perubahan iklim tersebut didasarkan pada kesepakatan Uni Eropa untuk menurunkan emisi sebesar 20%, selain mendorong penggunaan energi agrofuel sebesar 10 % pada tahun 2020. Untuk mencapai target tersebut Uni Eropa mendukung mekanisme perdagangan karbon dan pengembangan agrofuel di negara berkembang.
Keputusan tersebut tentu akan memperburuk kondisi negara berkembang seperti Indonesia ditengah krisis iklim yang dihadapi. Selain target penurunan emisi Uni Eropa tersebut tidak cukup kuat dan membantu penyelamatan iklim duniai, dukungan untuk mengembangkan agrofuel akan semakin memperparah perampasan tanah dan alih fungsi tanah demi kepentingan korporasi. Dukungan untuk pengembangan agrofuel juga meningkatkan konflik antara petani dan pihak perkebunan-perkebunan besar, yang hingga tahun 2008, tercatat telah terjadi lebih dari 500 konflik dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Oleh karena itu kami mendorong negara Annex 1 khususnya Uni Eropa agar mengambil langkah yang tepat untuk penyelamatan iklim dan tidak mengulur-ngulur waktu. Berakhirnya komitmen I Kyoto Protokol pada tahun 2012, harus dilanjutkan dengan komitmen berikutnya dengan menekankan pada level penurunan emisi sedikitnya 40% pada tahun 2020, dengan tidak menggunakan mekanisme pasar dan mengutamakan keselamatan rakyat.
Kami mendesak negara Annex 1 dan Uni Eropa agar menunjukkan keseriusan dalam merubah pola konsumsi yang boros menjadi pola konsumsi yang mempertimbangkan daya dukung ekologis. Negara Annex 1 juga perlu menterjemahkan secara benar bahwa penggunaan energi bersih bukanlah agrofuel, bukan nuklir, dan bukan dengan transfer teknologi kotor seperti carbon capture and storage (CCS). Seharusnya, negara-negara Annex 1 dan Uni Eropa mengalokasikan dana tidak dalam bentuk utang dan melakukan transfer pengetahuan ke negara berkembang untuk mengembangkan energi terbarukan seperti energi matahari, angin, dan mikrohidro.
Terkait pertanian, kami mendesak negara-negara Annex 1 dan Uni Eropa agar lebih mendorong pertanian berkelanjutan, karena akan dapat membalikkan kerusakan dan membantu jutaan keluarga petani kecil. Pertanian juga dapat berkontribusi dalam mendinginkan bumi dengan menggunakan praktek pertanian yang menyimpan CO2 dan mengurangi penggunaan energi pada pertanian.
Uni Eropa sebagai entitas yang menghormati HAM dan peduli terhadap persoalan lingkungan hidup sudah seharusnya tidak mendukung solusi-solusi palsu perubahan iklim seperti pengembangan agrofuel di negara berkembang, mekanisme perdagangan karbon dan karbon offset sebagai jalan keluar perubahan iklim.